Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Net
Gaya berpolitik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilabeli Orde Baru gaya baru oleh pengajar ilmu pemerintahan lulusan Universitas Nasional (UNAS), Efriza.
Pasalnya, Jokowi mengacuhkan keputusan politik PDI Perjuangan yang membesarkannya sejak memenangkan pemilihan Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga 2 kali Pilpres.
Efriza menjelaskan, keputusan PDIP mengusung mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Menko Polhukam Mahfud MD sebagai bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024, secara tidak langsung telah dimentahkan Jokowi melalui pencalonan putra mahkotanya, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon RI 2 bersama Prabowo Subianto sebagai bakal calon RI 1.
Menurutnya, akibat dari manuver Jokowi dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut stabilitas politik potensi terguncang, karena upaya yang dipakai untuk memuluskan langkah Gibran maju bersama Prabowo memanfaatkan suprastruktur kelembagaan pemerintah.
Efriza menyebutkan, manuver paling dahsyat yang dilakukan Jokowi adalah melalui penguasaan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK), dimulai dari perkawinan politik Ketua MK Anwar Usman dengan adiknya yang bernama Idayati, dan faktanya membuahkan hasil pencalonan Gibran di Pilpres 2024 tak melanggar UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Inilah penyebab kekisruhan perpolitikan menjelang pemilu kita tahun depan," ujar Efriza saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, pada Jumat (27/10).
Dia memandang, Jokowi telah menghadirkan kekecewaan yang sangat besar di publik karena manuvernya cenderung otoriter, dan menimbulkan kesan ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang seolah-olah demokratis.
"Padahal dia (Jokowi) menjadi aktor kemunduran demokrasi, menjadi aktor terjadinya politik pencalonan dinasti politik di level nasional. Dia juga menghadirkan stigma negatif bagi anak muda dalam berpolitik sebab adanya wajah dalam balutan dinasti politik," tuturnya.
"Bahkan, dia menjadi wajah politik "Neo Orde Baru di era Reformasi" sebagai penguasa politik dalam balutan supremasi konstitusi hasil Reformasi, namun aktor suramnya demokrasi di penghujung periode keduanya," demikian Efriza menambahkan.