Berita

Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, M. Ishom El-Saha/Ist

Publika

Memahami Aturan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional

OLEH: M. ISHOM EL-SAHA*
MINGGU, 22 OKTOBER 2023 | 09:44 WIB

PERANG adalah kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia yang melibatkan penggunaan senjata. Perang merupakan kejadian yang tidak diinginkan umat manusia, karena menimbulkan kesengsaraan dan kerugian yang tidak ternilai harganya. Dalam setiap perang selalu terjadi perbuatan yang kejam dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Untuk menjauhkan akibat peperangan telah disepakati hukum humaniter internasional atau International Humanitarian Law (HHI).

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, HHI dibagi 2 (dua): Pertama, "Jus ad Bellum", yaitu hukum tentang perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata; Kedua, "Jus in Bello", yakni hukum yang berlaku dalam perang, baik berupa ketentuan hukum yang mengatur cara perang dilakukan (conduct of war), maupun ketentuan hukum yang mengatur perlindungan orang yang menjadi korban sipil atau militer (Konvensi Jenewa 1949/Geneva Convention 1949).

Dengan kata lain, HHI tidak saja mengatur hukum perang tetapi juga mengatur pelindungan terhadap korban perang baik dari militer maupun sipil. Di samping itu, HHI hanya berlaku pada saat terjadinya perang atau konflik bersenjata dan tidak berlaku pada masa damai. HHI juga tidak berlaku pada situasi kerusuhan, huru-hara, dan ketegangan.

Konflik bersenjata sendiri dikelompokkan menjadi dua. Pertama, konflik bersenjata bersifat internasional, yakni konflik yang terjadi antar negara atau beberapa negara yang disebut "International Armed Conflict" (IAC). Misalnya, perang Rusia-Ukraina. Kedua, konflik bersenjata tidak bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi di dalam wilayah negara (internal conflict) atau disebut "Non-International Armed Conflict" (NIAC). Contoh, perang antara pemerintah Myanmar dengan etnis Rohingya.

Ketentuan HHI yang berlaku dalam IAC dan NIAC tidak sama. Dalam IAC, yang berlaku adalah Konvensi Jenewa 1949 dan/atau Protokol Tambahan I 1997. Sedangkan dalam NIAC, yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan terhadap korban perang dan/atau Protokol Tambahan II 1997.

Konvensi Jenewa 1949 terdiri dari beberapa bagian. Pertama, Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat (Konvensi I). Kedua, Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Konvensi II). Ketiga, Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Konvensi III). Keempat, Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV).

Di samping itu terdapat ketentuan baru yang melengkapi Konvensi Jenewa 1949. Pertama, Protokol Tambahan I 1997 yang dibentuk karena metode perang yang digunakan negara berkembang, demikian pula dengan aturan tata cara berperang. Protokol Tambahan I 1997 menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, dan dilarang menggunakan senjata proyektil dan alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.

Kedua, Protokol Tambahan II 1997 yang terbentuk karena sering terjadi konflik bersenjata di dalam internal negara (NIAC) setelah Perang Dunia II. Satu-satunya ketentuan NIAC terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 namun dinilai belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang serius akibat NIAC. Oleh sebab itu prinsip yang telah diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II 1997.

Secara garis besar aturan perang dalam HHI menurut Ambarwati dkk (Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional) mengandung 8 prinsip yang wajib dipatuhi oleh masyarakat dunia internasional:

Pertama, Kemanusiaan, yakni pihak pihak yang tidak berperang dan mengangkat senjata atau non kombatan harus dijauhkan sebisa mungkin dari arena pertempuran, dan korban luka harus diusahakan seminimal mungkin. Kedua, Kepentingan, yaitu yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran adalah objek militer. Ketiga, Proporsional, yaitu setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tidak akan menyebabkan korban dan kerusakan yang berlebihan.

Keempat, Pembedaan, yakni dalam konflik bersenjata harus dibedakan kombatan dan orang sipil. Kelima, Pembatasan berupa larangan yang menyebabkan penderitaan tidak sepatutnya. Artinya, prinsip ini berkaitan dengan metode dan alat perang. Misalnya larangan menggunakan racun, peluru, senjata biologi, dan lainnya. Keenam, Pemisahan "Jus ad Bellum" dan "Jus in Bello". Ketujuh, Patuhi ketentuan minimal HHI, yakni Konvensi Jenewa 1949. Kedelapan, Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI yang wajib dihormati pemerintah dan warga negara yang bersangkutan.

Dengan demikian, walaupun perang dipandang sebagai kondisi tertinggi kedaruratan dalam suatu negara maupun antarnegara, akan tetapi tidak boleh menabrak hukum humaniter internasional. Pelanggaran terhadap HHI dapat dituntut dalam persidangan Mahkamah Pidana Internasional atau dikenal dengan istilah International Criminal Court (ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

*Penulis adalah Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya