Pemerintah Turkistan Timur di Pengasingan (ETGE)terus mencari pengakuan internasional agar bisa mengutuk China yang telah menginvasi tanah mereka selama lebih dari tujuh dekade.
Mengutip ANI News pada Kamis (19/10), Turkistan Timur merupakan sebuah negara yang dijajah oleh China dan kemudian diubah namanya menjadi Xinjiang yang berarti "wilayah baru" atau "koloni".
Tanggal 12 Oktober lalu, merupakan peringatan 74 tahun invasi militer China ke Turkistan Timur. Menandai hari kelam di mana negara merdeka itu diserang dengan kekuatan penuh oleh tetangganya pada 1949 lalu.
Perdana Menteri ETGE, Salih Hudayar menegaskan bahwa peringatan ini merupakan momen penting untuk kembali memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan bagi Turkistan Timur.
Dia mendorong komunitas internasional secara resmi mengakui Turkistan Timur sebagai negara yang dijajah dan menyeret China ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas kejahatan perang dan genosida yang mereka perbuat di negara mereka.
“Invasi China adalah tindakan agresi brutal yang telah menyebabkan kolonisasi, genosida, dan pendudukan selama beberapa dekade,” tegasnya.
Wakil Presiden ETGE Abdulahat Nur mengatakan, terpilihnya kembali China sebagai anggota DK PBB merupakan lelucon baru yang menodai prinsip-prinsip dasar PBB.
"Ini bukan sekadar tamparan bagi masyarakat Turkistan Timur. Ini adalah pengkhianatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan global," kata Nur.
Hanya sebelas hari setelah Partai Komunis China (PKC) memproklamirkan pendirian Republik Rakyat China, mereka melakukan invasi skala penuh terhadap negara berdaulat Turkistan Timur pada 12 Oktober 1949.
Invasi ini difasilitasi oleh pembunuhan lebih dari 30 pemimpin politik dan militer senior Republik Turkistan Timur oleh Uni Soviet pada akhir Agustus hingga September 1949.
Agresi China mengakibatkan tewasnya 1.200.000 warga Turkistan Timur hingga akhir tahun 1952.
Sejak itu, Turkistan Timur dan rakyatnya telah menjadi sasaran kampanye kolonisasi, asimilasi, dan pendudukan yang brutal, yang meningkat menjadi genosida setelah tahun 2014.
Kampanye ini mencakup penahanan massal lebih dari 3 juta warga Uighur, Kazakh, Kyrgyzstan, dan masyarakat Turki lainnya di kamp konsentrasi, penjara, dan kamp kerja paksa.
Sterilisasi massal dan pemerkosaan terhadap perempuan Uighur dan Turki, penghancuran lebih dari 16.000 situs budaya dan keagamaan dan pemisahan paksa lebih dari 880.000 anak Uighur dari keluarga mereka.