Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi/Rep
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus uji materiil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas minimum usia capres-cawapres dinilai telah melanggar kode etik. Terutama, hakim yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan perkara yang diputus.
Dari 9 hakim, Ketua MK Anwar Usman merupakan paman dari Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang digadang-gadang bakal berlaga pada Pilpres 2024.
Konon putra sulung Presiden Joko Widodo itu akan didapuk sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gugatan MK tersebut juga disebut-sebut untuk memuluskan Gibran bertarung di Pilpres 2024.
“Patut diduga ada pelanggaran kode etik di situ. Paling tidak ada asas
nemo iudex in causa sua di sini, hakim tidak boleh mengadili perkara terkait dengan dirinya. Terkait dengan dirinya itu ya perkara yang berkaitan dengan keluarganya, anaknya, keponakannya, istrinya, itu tidak boleh,” kata akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, dalam webinar Pengurus Pusat APHTN-HAN bertajuk “Implikasi Putusan MK Syarat Capres & Cawapres Bagi Tegaknya Demokrasi Konstitusional”, Selasa (17/10).
Atas dasar itu, Fahmi menyebut hakim MK yang telah melanggar kode etik tersebut bisa dijatuhi sanksi dan dibawa ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
“Sehingga ujungnya ada pelanggaran etik di situ. Tapi apakah kemudian ini mau ditegakkan etik terhadap perkara ini bisa saja, kan ada Majelis Kehormatan kalau dugaan itu sampai ke hakim,” pungkasnya.