Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi/Repro
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas minimum usia capres-cawapres dinilai cacat hukum. Jika amar putusan tersebut dijalankan justru berpotensi menimbulkan masalah pada Pilpres 2024.
Demikian disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, dalam webinar Pengurus Pusat APHTN-HAN bertajuk “Implikasi Putusan MK Syarat Capres & Cawapres Bagi Tegaknya Demokrasi Konstitusional”, Selasa (17/10).
“Ini sudah cacat bawaan, untuk pilpres kita ini berbahaya. Kalau tetap dilanjutkan yang kayak begini, berbahaya, karena landasan hukum untuk keabsahan persyaratan itu tidak kuat. Secara hukum salah, dan kita harus berani untuk mengambil sikap ke sana,” tegas Fahmi.
Fahmi mengurai, masalahnya terdapat pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai tidak memenuhi syarat suara terbanyak untuk ditetapkan sebagai putusan MK karena hanya didukung 3 hakim.
Kata Fahmi, hal ini melanggar Pasal 45 Undang-undang MK, yang mensyaratkan sebuah perkara harus diputus dengan suara mayoritas.
“Kalau belum mayoritas maka belum bisa diputus. Lalu putusan bersifat final mengikat memang melekat pada putusan MK, namun putusan ini tidak dapat dilaksanakan. Dalam pemahaman saya ini masuk kategori putusan yang tidak dapat dilaksanakan,” bebernya.
Atas dasar itu, Fahmi menyarankan sebaiknya putusan MK tersebut tidak langsung dilaksanakan. Menurutnya, jika pemerintah tetap ingin mengubah syarat itu sedianya dibawa ke DPR untuk dilakukan perubahan UU Pemilu.
“Biar DPR yang memasukkan klausul yang hari ini ada di amar putusan (MK), dengan mempertemukan berbagai pendapat hukum dari hakim yang memutus perkara ini,” jelasnya.
“Kalau hanya bersandar pada keputusan MK yang seperti ini, akan menimbulkan dampak yang cukup luas nanti di hasil pemilu presiden kita,” demikian Fahmi.