PERTANYAAN yang muncul dari judul tulisan ini, ada apa sebenarnya dengan KPK setelah dibentuk sejak tahun 2002, 21 (dua puluh satu) tahun yang lalu?
Setiap kelembagaan negara yang berada di luar sistem ketatanegaraan berdasarkan Konstitusi UUD 1945 wajib dilakukan evaluasi, baik mengenai eksistensi dan efektivitasnya di dalam memberikan kontribusi terhadap kelancaran program pemerintah, khususnya dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari KKN.
Pembentukan KPK sejak awal kelahirannya disebabkan pertimbangan bahwa, pertama korupsi semakin sistematis dan meluas ke seluruh level birokrasi, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia sejak era Suharto dan telah memerlukan penanganan yang bersifat luar biasa dan khusus.
Namun demikian, juga perlu diketahui bahwa korupsi merupakan perampokan atas hak-hak 260 juta rakyat untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan sosial sesuai dengan cita-cita yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45.
Dengan demikian, pembentukan KPK menjadi penting dan strategis dengan harapan tingkat perkembangan korupsi menurun dan tetap terjaga integritas, profesionalitas dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan.
Harapan dan cita-cita NKRI tersebut melalui pembentukan KPK yang telah berusia 21 tahun, terbukti belum berhasil dilaksanakan secara efisien dan efektif, sehingga tampak penanganan pemberantasan korupsi tersendat-sendat dan bermasalah terutama sejak KPK Jilid III dan berlanjut pada Jilid IV.
Hal ini karena masalah nasional yang sangat luas dan kompleks; disebabkan pertama, sistem dan tata organisasi pemerintahan yang meliputi 34 (tiga puluh empat) provinsi sampai ke tingkat desa sangat memerlukan sistem pengawasan internal yang efektif dan terkoordinasi dengan baik antara pusat dan daerah, termasuk desa.
Penyebab kedua, sistem hubungan keuangan pusat dan daerah termasuk alokasi anggaran daerah dan pusat sekalipun telah ditata baik oleh Kementerian Keuangan dan Kemendagri akan tetapi celah-celah peraturan lelang barang dan jasa masih menyisakan ekses-ekses memunculkan korupsi.
Kerumitan sistem peraturan perundang-undangan yang mengatur tata Kelola pemerintahan baik yang berasal dari K/L maupun yang berasal dari lembaga penegakan hukum masih belum tersistem dengan baik, efisien dan efektif.
Ketiga, merujuk pada dua masalah tersebut, semakin jelas bahwa sistem rentang kendali pengaturan dan pengawasan yang sangat jauh dari pusat ke daerah dan di dalam satu K/L di pusat dan daerah semakin membuka lebar celah-celah penyelewengan kekuasaan di dalam organisasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Ketiga penyebab masalah nasional tersebut tidak cukup memadai jika hanya diatasi oleh KPK dan Kejaksaan tanpa anggaran biaya yang memadai dan sumber daya manusia terpilih dan berintegritas.
Perkembangan KPK Jilid IV kini di bahwa pimpinan Firli Bahuri cs tampak mengalami hambatan-hambatan yang bersifat internal dibandingkan dengan KPK sebelumnya; KPK sebelum Firli cs solid dan kompak antara pimpinan dan bawahan khusus penyelidik dan penyidik sedangkan di bawah Firli cs sebaliknya, sehingga proses penetapan tersangka sering tersendat-sendat dan memakan waktu lama.
Hambatan tersebut diperparah lagi jika bakal calon tersangka atau tersangka oknum anggota parpol dan belum lagi setiap langkah KPK terhadap oknum anggota parpol serta pemberitaan-pemberitaan pers dan media yang sering pula tendensius menyudutkan kinerja KPK.
Namun demikian, berdasarkan laporan tahunan KPK 2022 menunjukkan kinerja yang baik, yaitu KPK tidak lagi besar pasak daripada tiang. Di mana anggaran KPK tahun 2020 sebesar Rp920,3 miliar telah menghasilkan kinerja penghematan dan pemasukan keuangan kepada negara sebesar Rp593,2 triliun.
Sedangkan dalam bidang pencegahan, telah berhasil meningkatkan kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya sebesar 93 persen pada tahun 2019, dan meningkat sebesar 96,3 persen pada tahun 2020 (Laporan Tahunan KPK 2020).
Berbeda dari laporan tahunan KPK, laporan hasil survei ICW dan Pukat-UGM pasca-revisi UU KPK 2002, menunjukkan bahwa KPK menghadapi masalah krusial, antara lain mandeknya supervisi perkara korupsi besar, anjloknya OTT KPK, minim menangani perkara strategis, rendahnya penuntutan, karut-marut penanganan perkara, keengganan meringkus burona, tindak lanjut perkara mangkrak.
Penurunan kinerja menurut Laporan ICW-Pukat tersebut terjadi secara kritis dalam bidang penindakan. Rekomendasi Laporan ICW dan Pukat seperti biasa mengenai perlunya RUU Perampasan Aset dan RUU Transaksi Tunai, serta reorganisasi KPK dan dikembalikan kepada fungsi dan peranan semula, yaitu koordinasi dan supervisi serta menerapkan “trigger-mechanism”.
Marwah KPK pasca-revisi seolah tenggelam oleh pesatnya kenaikan penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan yang kini memperoleh kepercayaan publik sebanyak 78 persen jauh melampaui KPK, sehingga patut dipertanyakan masalah pada bagian menimbang UU 30/2002 yang menegaskan, b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam kaitan tersebut, Perubahan UU KPK 2019 menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam menjalankan tugasnya berwenang secara mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun; sering dimaknai Lembaga swadaya Masyarakat termasuk ICW, juga Pukat; menghilangkan marwah KPK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan manapun.
Perubahan status dan karakter organisasi KPK di dalam Perubahan UU KPK 2019 menempatkan Pimpinan KPK dan jajarannya berstatus sebagai ASN yang dianggap rentan terhadap intervensi eksekutif dan legislatif.
Dalam kenyataannya, justru tidak terjadi karena sebanyak lebih dari tiga menteri, gubernur, walikota, dan bupati pasca-perubahan UU KPK tersebut telah ditangkap dan ditahan KPK serta diadili dan dijatuhi hukuman.
Pada akhirnya, berhasil tidaknya KPK mengemban tugas, fungsi dan peranannya sebagai lembaga pemberantasan korupsi dengan fungsi trigger mechanism-nya sangat tergantung dari kepemimpinan dari kelima pimpinan KPK dan keharmonisan dan sinkronisasi antara pimpinan dan bawahannya, serta antar kedeputian satu sama lain.
*Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran