Ary Mulyadi alias Ari Muladi/Net
Dua kali mangkir dari panggilan tim penyidik, mantan narapidana kasus percobaan penyuapan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, Ary Mulyadi alias Ari Muladi kembali diultimatum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri, Ary Mulyadi alias Ari Muladi sedianya dipanggil kedua kalinya untuk hadir dan diperiksa di Gedung Merah Putih KPK Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (22/9).
Namun demikian, Ari Muladi bersama seorang saksi lainnya, yakni Lusi Kusuma Dewi selaku ibu rumah tangga tidak hadir memenuhi panggilan tim penyidik.
"Kedua saksi tidak hadir dan tanpa konfirmasi. KPK kembali ingatkan untuk kooperatif hadir dan surat panggilan berikutnya segera dikirimkan tim penyidik," kata Ali kepada wartawan, Senin pagi (25/9).
Sementara itu, seorang saksi lainnya, yakni Mutmainah selaku karyawan swasta hadir dan didalami soal dugaan penempatan aliran uang dari tersangka Lukas Enembe (LE) selaku mantan Gubernur Papua dalam perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ari Muladi sebelumnya juga mangkir saat panggilan pertama pada Senin (18/9). Ketidakhadirannya tersebut tanpa adanya konfirmasi alasan kepada tim penyidik.
Dalam perkara TPPU, KPK sudah menyita aset Lukas senilai Rp144,7 miliar, berupa uang tunai senilai Rp81,9 miliar dalam bentuk mata uang rupiah, dolar AS, dan dolar Singapura, lalu berupa tanah dan bangunan, emas, dan kendaraan senilai lebih dari Rp62,7 miliar.
Selain kasus TPPU, Lukas juga saat ini masih menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan proyek infrastruktur di Provinsi Papua. Dalam kasus itu, Lukas dituntut 10 tahun dan 6 bulan penjara, serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Tak hanya itu, Lukas juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp47.833.485.350 (Rp47,8 miliar) subsider 3 tahun kurungan. Lukas juga dituntut dicabut hak politiknya selama 5 tahun sejak menjalani pidana pokoknya.
Tuntutan itu sudah disampaikan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (13/9).
Lukas dianggap JPU telah terbukti menerima suap Rp45.843.485.350 (Rp45,8 miliar) bersama-sama dengan Mikael Kambuaya selaku Kepala Dinas PU Pemprov Papua tahun 2013-2017 dan bersama Gerius One Yoman selaku Kepala Dinas PUPR Pemprov Papua tahun 2018-2021.
Uang tersebut diterima dari Piton Enumbi selaku Direktur sekaligus pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya, dan PT Melonesia Cahaya Timur sebesar Rp10.413.929.500 (Rp10,4 miliar).
Selanjutnya, menerima uang dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Direktur PT Tabi Bangun Papua sekaligus pemilik manfaat CV Walibhu sebesar Rp35.429.555.850 (Rp35,4 miliar).
Uang tersebut diberikan agar terdakwa Lukas bersama-sama dengan Mikael dan Gerius mengupayakan perusahaan-perusahaan yang digunakan Piton Enumbi dan Rijatono Lakka dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua TA 2013-2022.
Selain itu, Jaksa meyakini, terdakwa Lukas juga terbukti menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp1,99 miliar dari Budy Sultan selaku kontraktor yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku Gubernur Papua periode 2013-2018.