PRESIDENTIAL threshold (PT) adalah ambang batas kursi/suara yang harus diperoleh Parpol atau gabungan Parpol dalam suatu gelaran Pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon (Paslon) presiden dan calon wakil presiden.
Di Indonesia, aturan PT mulai muncul dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Dalam Pasal 5 ayat (4) UU ini berbunyi, “Paslon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.”
Ketentuan UU di atas nyatanya tidak berlaku dalam Pilpres 2004. Dalam Pilpres 2004 berlaku ketentuan bahwa untuk dapat mengusulkan Paslon, Parpol atau gabungan Parpol harus memperoleh sekurang-kurangnya 5 persen suara secara nasional atau 3 persen kursi DPR.
Lantaran PT-nya serendah itu, ada 6 Paslon yang mendaftar ke KPU. Belakangan karena Abdurrahman Wahid (AW) tidak lolos tes kesehatan, AW dan Marwah Daud Ibrahim tidak dapat mengikuti Pilpres.
Entah mendapat ilham dari langit mana, DPR hasil Pemilu 2004 dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetiba sepakat melesatkan angka PT menjadi 20 persen melalui UU 42/2008. Pasal 9 UU ini menyebutkan, “Paslon diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.”
Bila bercermin atas hasil Pemilu 2004 saat Partai Demokrat (PD) meraih 56 kursi DPR (10,18 persen), mustahil partai ini berani menginisiasi PT 20 persen. Soalnya, agar bisa sendiri mengusulkan Paslon, PD harus memperoleh kenaikan kursi 100 persen pada Pemilu 2009. Faktanya, PD meraih 148 kursi di Senayan (26.42 persen). Ini aneh bin ajaib.
Persoalan Etis Pasca-Pilpres 2004 dan Pilpres 2009Saat KPU mengumumkan hasil Pilpres putaran kedua pada 4 Oktober 2004 yang dimenangkan pasangan SBY-Jusuf Kalla karena meraih 60,62 persen suara, PDIP tidak serta merta menerima hasil tersebut karena mencium bau amis kecurangan dalam Pilpres 2004 tersebut.
Namun penerimaan hasil Pilpres 2004 ini oleh Megawati sebagai Presiden petahana saat itu dengan sendirinya tidak menimbulkan persoalan legalitas.
Yang kemudian muncul justru persoalan etis manakala komisioner KPU 2001-2004 Hamid Awaluddin menjadi Menkumham dari 20 Oktober 2004-8 Mei 2007 dan menyusul setahun kemudian Anas Urbaningrum komisioner KPU 2001-2005 bergabung ke PD dan menjadi Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah.
Hasil raihan kursi DPR PD yang mencengangkan pada Pemilu 2009 (naik melebihi 100 persen) suka atau tidak suka menimbulkan dugaan kecurangan yang makin membahana pada Pilpres 2009.
Di masa kampanye Pilpres 2009, tim kampanye capres tertentu diduga menyerukan Pilpres satu putaran dan sebuah lembaga survei mendukung wacana tersebut.
Bahkan ditengarai kuat KPU ikut berkampanye memenangkan pasangan SBY-Boediono melalui spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan yang mengarahkannya pada pasangan SBY-Boediono.
Di sini persoalan etis muncul lagi saat 2010 Andi Nurpati (AN) komisioner KPU 2007-2010 mengikuti jejak Anas bergabung ke PD dan di tahun itu juga menjadi Ketua Divisi Komunikasi Politik PD 2010-2015.
Sejumlah pihak menengarai AN bergabung ke PD untuk mendapatkan “perlindungan” atas keterlibatannya dalam pemalsuan dokumen MK terkait pemilu legislatif pada Agustus 2009.
Proses PT yang Aneh dan Merugikan Mayoritas Partai dan Rakyat Seperti diketahui, PT 20 persen pertama muncul melalui UU 42/2008. PT dengan substansi dan besaran serupa selanjutnya muncul lagi dalam UU 7/2017.
Pasal 222 UU itu berbunyi, “Paslon diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Sejatinya PT 20 persen hanya sekali memberi keuntungan kepada PD yang membuat SBY bisa menjadi Presiden kedua kalinya. Namun, PT sebesar ini dua kali menguntungkan PDIP. PDIP bisa mengajukan sendiri Paslonnya pada Pilpres 2019 dan 2024. Pilpres 2019 membawa Jokowi meraih kursi Presiden kedua kalinya.
Seperti diketahui, hasil Pemilu 2014 telah mengantarkan 10 partai ke Senayan, sedangkan Pemilu 2019 membawa 9 partai menduduki kursi di sana. Anehnya, meski 1 partai saja yang menarik keuntungan dari PT 20 persen yang mulai digulirkan sejak Pilpres 2009, semua partai, termasuk partai nonkoalisi, tidak menolak ketentuan PT 20 persen.
Belakangan, PKS tahun lalu mengajukan uji materi atas PT 20 persen. Menurut Yusril Ihza Mahendra, pengajuan PKS ini aneh lantaran ikut merumuskan PT 20 persen sedari awal.
PD tentu tidak seperti PKS. Namun, dari perilaku PD yang sejak Pilpres 2014 mencoba menawarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bisa diduga PD menyesal luar biasa memelopori PT 20 persen ini. Padahal bila dulu PD menginisiasi PT 0 persen, mereka tidak perlu mengeluarkan kata “pengkhianat” hanya karena AHY terlempar dari Bacawapres Anies.
Di luar PDIP, semua partai di Senayan sebenarnya bisa mengajukan uji formil atas PT 20 persen. Bila mereka berani membuka risalah proses RUU Pemilu hingga menjadi UU 7/2017, utamanya Pasal 222, niscaya MK bisa menemukan tahapan yang ganjil atau minimal tanpa kajian akademik yang bermakna dan memadai.
Secara akal sehat, pastilah MK mafhum betul bahwa ada kesesatan berpikir dalam persetujuan PT 20 persen dari 9 partai waktu itu. Penulis saja, yang kualitas nalarnya jauh di bawah 9 hakim MK, bisa memberi contoh betapa tidak dipakainya nalar oleh 9 partai dalam membahas PT 20 persen.
Contohnya, katakanlah ada 10 laki-laki bersepakat merancang ketentuan persyaratan menikahi seorang putri lurah. Janggal bila semuanya menyetujui persyaratan utamanya berumur minimal 35 tahun, padahal hanya 1 dari mereka yang memenuhinya.
Selanjutnya, kejanggalan yang sangat menista logika adalah bila lurah tadi ikut-ikutan pula menyetujuinya. Lurah itu niscaya membatalkan ketentuan yang merusak nalar itu dengan membuka peluang rakyatnya selain 10 laki-laki itu mendapatkan putrinya.
Tidak mungkin lurah seperti itu tetap planga-plongo dan diam seribu bahasa. Sang lurah tidak mungkin membiarkan putrinya bernasib seperti Siti Nurbaya. Itu hanya mungkin terjadi bila ia terpilih jadi lurah karena bantuan pemilik modal dalam negeri dan asing/aseng.
Bila memang demikian, jangankan lurah, semua perangkat kelurahan, karena kecipratan, tentu ikut-ikutan membisu dan mengamini kesepakatan mereka.
Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan