DEKLARASI Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden yang dipelopori oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberikan kejutan di akhir pekan.
Tidak ada tanda-tanda sebelumnya dua partai ini akan bersatu untuk mendeklarasikan bacapres dan bacawapres.
Sosok Anies Baswedan yang sebelumnya digadang-gadang akan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ternyata terjadi perubahan secara tiba-tiba.
Muhaimin Iskandar dan PKB yang sebelumnya berpasangan dengan Prabowo Subianto mendadak berubah haluan dan pada Sabtu tanggal 2 September 2023 bersama-sama dengan Partai Nasdem secara resmi akhirnya mendeklarasikan Anies-Cak Imin.
Meskipun duet ini secara resmi belum mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena memang pendaftaran capres dan cawapres belum dibuka, tetapi duet capres-cawapres ini jika benar terjadi akan memunculkan visi keislaman yang kuat sesuai dengan latar belakang Anies dan Cak Imin.
Anies Baswedan setelah Pilkada DKI Jakarta 2017 mempunyai
branding politik identitas dalam kiprahnya merebut kekuasaan.
Kelompok Islam konservatif disinyalir menjadi pendukung setianya. Meskipun demikian, Anies sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah sosok yang pluralis dengan dilihat dari
track recordnya sebagai rektor Universitas Paramadina, dimana pendirian Universitas yang dibawah Yayasan Paramadina dipelopori oleh Kelompok Pondok Indah yang dikenal moderat dan liberal.
Dalam Kelompok Pondok Indah kita bisa menyebut sosok Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Ulil Abshar Abdalla hingga Yudi Latief berada dalam satu kelompok diskusi tersebut.
Kiprah Anies Baswedan sebagai aktivis juga sangat kental dengan Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) sewaktu masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Dalam pergerakan mahasiswa, Anies Baswedan berkecimpung dengan HMI (MPO), yaitu organisasi yang menolak azas tunggal Pancasila pada periode penerapan azas tunggal di era 1980an.
Organisasi HMI (MPO) yang tetap berazaskan Islam dalam azas organisasi berseberangan dengan HMI (DIPO) yang menerima azas tunggal Pancasila, meskipun pada Kongres di Jambi HMI (DIPO) sudah kembali berazaskan Islam, tetapi perpecahan kedua organisasi tersebut hingga kini masih terjadi.
Jika Anies Baswedan kental dengan HMI (MPO), maka Muhaimin Iskandar atau yang sering disapa Cak Imin adalah pentolan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Berbeda dengan Anies yang tidak pernah menjadi Ketua Umum di HMI, maka Cak Imin adalah Ketua Umum PB PMII periode 1994-1997.
Baik Anies maupun Cak Imin keduanya kental dengan kultur pergerakan Yogyakarta dan di almamater yang sama, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB juga tentunya sangat melekat kultur Nahdliyin tidak bisa dilepaskan dari Cak Imin, Nahdlatul Ulama, PKB dan Cak Imin sudah identik dan sulit dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Meskipun Cak Imin mempunyai catatan sejarah yang sulit dilupakan oleh kalangan tertentu NU, khususnya Gusdurian, dimana pelengseran Gus Dur dari Ketua Umum PKB yang tidak lain adalah pamannya Cak Imin sendiri sangat berbekas di kalangan Gusdurian.
Namun, sosok Cak Imin terlepas dari kontroversinya adalah politisi yang sangat mewarnai Orde Reformasi, mungkin dalam era reformasi hanya Cak Imin ketua umum partai politik yang selalu mendapatkan jabatan strategis di lini pemerintahan.
Sebelum Zulkifli Hasan (PAN) melakukan manuver politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, Cak Imin sudah melakukannya terlebih dahulu.
Baik Anies Baswedan dan Cak Imin, keduanya mempunyai cara dan pengalaman sendiri dalam merebut kekuasaan.
Anies Baswedan yang cenderung menerapkan populisme kepemimpinan dalam merebut kekuasaan di sistem demokrasi ini sudah cukup teruji dimana Anies yang bukan kader partai apalagi ketua umum partai mampu diusung oleh partai politik untuk menjadi bakal calon presiden di pemilu 2024.
Anies dan Cak Imin dari melihat usia dan kiprahnya, mereka satu generasi dan berada di generasi transisi politik Orde Baru dan Orde Reformasi.
Mereka memang bukan seperti Budiman Sudjatmiko, Andi Arief atau Adian Napitupulu yang ditangkap dan dikejar-kejar tantara dalam perjuangannya menjatuhkan Orde Baru.
Anies dan Cak Imin juga tidak seradikal Wiji Thukul yang hilang atau Munir yang meninggal dalam mengkritik kekuasaan untuk perjuangan membela rakyat.
Tetapi Anies dan Cak Imin tahu bagaimana masuk ke dalam kekuasaan, berkompromi, melakukan
bargaining dan akhirnya bisa mendapatkan jabatan dalam instrumen kekuasaan.
Duet Anies dan Cak Imin terlepas dari dua tokoh itu bisa diterima atau tidak oleh rakyat Indonesia, khususnya dari pemilih umat Islam, keduanya adalah duet yang dihidangkan untuk dipilih oleh rakyat, khususnya umat Islam.
Mengapa saya terkesan tendensius duet Anies dan Cak Imin adalah duet untuk pemilih umat Islam, karena kenyataannya begitu.
Anies yang di
rebranding terus menerus oleh kelompok Islam moderat dan konservatif serta Cak Imin ketua umum PKB dimana partainya mempunyai basis massa NU yang banyak kalangan menyebut Islam tradisional dan mencakup juga aliran nasionalis-religius.
Duet Anies dan Cak Imin ini juga dapat dianalisa sebagai upaya penyatuan kelompok Islam dalam satu wadah kepemimpinan Capres-Cawapres di Pemilu 2024.
Anies dan Cak Imin juga diharapkan oleh yang mengawinkannya menjadi magnet untuk umat Islam dalam merebut kekuasaan.
Selain itu dari katalog daftar tokoh Islam di Indonesia yang mempunyai tingkat narsistik paling tinggi menurut saya adalah Anies Baswedan dan Cak Imin.
Sandiaga Uno tidak mempunyai latar belakang aktivis atau kelompok Islam yang kapabel, Mahfud MD, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra popularitas dan daya narsistiknya kalah jauh dari Anies atau Cak Imin.
Selain Anies Baswedan dan Cak Imin apa ada lagi tokoh Islam di Indonesia yang lebih popular dan mempunyai tingkat narsistik setinggi mereka berdua?
Bagi sebagian kalangan, Pemilu 2024 adalah momentum untuk merebut kekuasaan, bukan persoalan nafsu ingin berkuasa saja yang harus diperhatikan tetapi soal harga diri beberapa kelompok yang dirasa tidak terakomodir oleh kekuasaan.
Hal tersebut lumrah dan selalu terjadi pada tiap-tiap rezim politik dimanapun berada.
Di era demokrasi liberal, negara sebenarnya bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara dan berserikat, menegakkan aturan hukum serta menyediakan layanan publik.
Pemerintah mengakui warganya dengan memberikan hak-hak individu, tetapi negara tidak bertanggung jawab untuk membuat setiap individu merasa lebih baik tentang dirinya sendiri.
Bagaimanapun kebahagiaan individu pada akhirnya tergantung pada harga dirinya dan harga diri merupakan produk sampingan dari pengakuan publik.
Pemilu selalu menjadi wadah pengakuan publik dan secara tidak sadar emosi berkumpul dalam satu wadah yang dianggap merepresentatifkan suatu kelompok.
Pengusung Anies-Cak Imin saya rasa sangat memahami politik identitas dalam ruang gerak serta pemetaan politik bukan saja di Pemilu 2024 tetapi sesudahnya.
Merefleksikan startegisitas politik berbangsa dan bernegara yang patut diakui selalu ada unsur kelompok beragama dan memainkan peranan yang penting.
Duet Anies dan Cak Imin juga mengingatkan saya atau banyak orang yang peka, karena hampir mirip dengan sejarah, yaitu politik kerjasama banyak kelompok menjadi satu kelompok dan terbagi menjadi tiga kelompok seperti halnya terjadi pada rezim Orde Baru.
Kelompok nasionalis dan nasionalis kiri yang terhimpun kedalam Partai Demokrasi Indonesia, kelompok nasionalis religius (Islam) yang terhimpun kedalam Partai Persatuan Pembangunan dan Golongan Karya yang menghimpun birokrat dan stakeholder pendukung kekuasaan Orde Baru dengan konsep nasionalis serta religius (Islam dan non Islam).
Jika benar Anies dan Cak Imin ini maju yang kemudian didukung oleh Partai Nasdem, PKB dan PKS, maka segmen kelompok ini bisa jadi menghimpun elemen umat Islam secara massif dan di sisi lain strategi rezim untuk menjaga kelompok-kelompok ekstrem kanan agar mudah diidentifikasi.
Pada akhirnya politik identitas merupakan perjuangan pengakuan martabat, tidak hanya kelompok Islam saja tetapi kelompok minoritas pun juga demikian.
Perlu disadari bersama bahwa dinamisnya politik di Indonesia juga didasari oleh martabat harga diri yang sedang mengalami demokratisasi.
Karena politik identitas dalam demokrasi liberal sekarang ini sudah mulai menyatu dan muncul dengan bentuk-bentuk identitas kolektif, seperti halnya bangsa dan agama karena individu sering tidak menginginkan pengakuan atas kepribadian mereka, tetapi pengakuan atas kesamaan dengan orang lain.
Jelasnya individu pemilih itu akan berpikir bahwa dirinya sama dengan Anies dan Cak Imin, atau sama dengan Prabowo, atau sama dengan Ganjar?
Ketiga kandidat presiden itu seakan merepresentatifkan individu-individu dengan pilihannya sesuai dengan kesamaan karakter individu calon presiden dan calon wakil presidennya.
Penulis adalah pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Daerah (MD) Depok