Berita

Polusi di Jakarta/Net

Publika

Polusi dan Solusi

OLEH: AGUSTINUS TAMTAMA PUTRA
SELASA, 12 SEPTEMBER 2023 | 10:59 WIB | LAPORAN: WIDODO BOGIARTO

BAHWA sesungguhnya persoalan polusi ialah perihal ekologi. Polusi memang menjadi masalah global sebab bumi secara keseluruhan memang mengalami krisis ekosistem.

Biodiversitas di banyak tempat di berbagai belahan dunia terancam oleh biouniformitas—demikian saya mengistilahkannya—melalui kinerja-kinerja manusia yang polutif.

Kinerja manusia sekedar untuk hidup tentu bukanlah ancaman terhadap krisis ekologi global. Yang lebih signifikan dan rentan polutif ialah karya-karya masif dan raksasa dari perusahaan-perusahaan entah tambang maupun perkebunan yang ekspansif.

Mengingat skalanya yang menjangkau luas, maka perusahaan-perusahaan tersebut jika mengabaikan aspek ekologis, tidak lain kemudian mendatangkan krisis biodiversitas.

Sebut saja misalnya perkebunan sawit. Biodiversitas tentu dikorbankan sebab yang muncul kemudian ialah uniformitas.

Sederhananya hanya pohon sawit yang bisa hidup, sementara itu misalnya pohon Bengkirai, Meranti, Tengkawang, Ulin, Pulai, Laban dan Cengkodok harus dibabat saat pembukaan lahan. Nama-nama pohon tersebut bahkan mungkin asing di telinga Anda.

Ya, banyak spesies pohon yang hilang. Fungsi berubah, dari hutan heterogen kini menjadi lahan homogen. Ternyata demi kemakmuran ekonomi, ada harga mahal juga yang harus dibayar dan direlakan, yaitu generasi ke depan tidak akan tahu lagi berbagai jenis pohon dan—yang lebih parahnya—hidup dalam krisis iklim seperti yang terjadi sekarang ini.

Konteks Jakarta

Tentu tidak ada perkebunan sawit di Jakarta. Akan tetapi perusahaan-perusahaan besar dengan emisi energi yang juga raksasa kiranya bisa didata.

Apakah kemudian perusahaan-perusahaan tersebut sungguh-sungguh memperhatikan dan menjalankan aspek ekologis, biarlah yang berkepentingan menjawab dan mengecek praktik pelaksanaannya.

Namun kiranya sudah di jalur yang tepat bahwa Pemerintah DKI Jakarta di bawah komando Heru Budi Hartono sudah mencoba untuk menata Jakarta secara ekologis.

Hal itu sudah diupayakan melalui penanaman pohon, pembersihan kali dan berbagai usaha pemanfaatan ruang kosong sebagai ruang terbuka hijau.

Jakarta sudah coba melaksanakan apa yang Freya Mathew, seorang filsuf lingkungan kebangsaan Australia, kemukakan dalam artikel yang menarik berjudul “Letting the World Grow Old”.

Dalam artikel itu ia menandaskan agar setiap orang dan lembaga membiarkan dunia bertumbuh tanpa harus merusak.

Maka konteks ruang terbuka hijau hendak mengembalikan situasi manusia dan alam yang memang kian terancam.

Manusia adalah bagian integral dari alam meskipun oleh kesanggupan budinya, manusia membuat determinasi dan menguasai alam semesta. Akan tetapi manusia tetap memerlukan alam untuk dapat berkembang. Di sini, manusia membiarkan alam tetap ada demikian pula sebaliknya. Tercipta sinergitas di dalamnya.

Perihal fenomena polusi yang akhir-akhir ini menyeruak kemudian hendaknya dilihat dari konstelasi besar dan multisudut Jakarta yang juga kompleks. Halnya bukan hanya soal banyaknya jumlah kendaraan atau polusi industri yang sudah tak terbendung, melainkan soal keberimbangan ekologis.

Bahwa Jakarta sudah tidak seimbang secara ekologis. Ini menyangkut prinsip, bukan saling tuduh dan saling menyalahkan yang ujung-ujungnya tidak mendatangkan solusi sama sekali.

Jakarta darurat ekologi karena soal kesadaran yang kurang dari berbagai pihak. Udara yang pekat di Jakarta adalah apa yang tampak.

Di balik itu, polusi tersebut merupakan akumulasi dari kebiasaan-kebiasaan tidak sehat orang per orangan dan kelompok, dalam hal ini juga termasuk industri-industri besar korporat yang mengeluarkan banyak energi dan panas.

Pun bila diupayakan anjuran untuk menggunakan kendaraan listrik, seberapa banyak itu bisa diusahakan? Juga bila masyarakat diminta untuk work from home, sampai kapan hal itu bisa terus dipertahankan dan efektif?

Pola Hidup Sehat

Menghadirkan Jakarta yang sehat dimulai dari kebiasaan yang sehat dari orang per orangan hingga ke institusi.

Salah satu komunitas milenial yang mengembangkan dan mempromosikan pola hidup sehat misalnya Millway Community. Keberimbangan ekologis yang dimaksud ialah bahwa antara upaya-upaya ekonomis industrial baik perusahaan maupun rumah tangga, memperhatikan dan mempertimbangkan juga aspek lingkungan yang sehat.

Masalah yang selama ini muncul ialah industri per orangan atau limbah rumah tangga misalnya selalu polutif di area Jakarta. Tidak mengherankan kemudian sungai menjadi beracun, berbau tidak sedap dan kotor.

Fenomena serupa terjadi dan lebih parah lagi di tingkat perusahaan dan instansi. Limbah-limbah pabrik yang melanggar regulasi pemerintah.

Regulasi tersebut pun tidak begitu ditegakkan dalam pengejawantahannya sehingga menjadi lubang-lubang kosong arena permainan yang tidak sehat dari perusahaan atau lembaga tertentu.

Ini sekali lagi perihal kesadaran dan mentalitas. Polusi Jakarta itu ibarat asap dari kobaran api di dalam jiwa dan kebiasaan manusia-manusia di dalamnya.

Solusinya ialah perbaiki mentalitas dan revolusi di institusi dengan ketegasan dari pihak pemerintah. Usaha ini akan menjadi jalan panjang dan tidak sekali jadi, namun kiranya urgen untuk dilakukan.

WFH dan pengalihan moda transportasi pribadi ke transportasi publik, pengadaan kendaraan listrik dan upaya taktis lainnya tentu tidak dilarang dan kiranya tetap perlu.

Akan tetapi itu tidak cukup. Sebagai upaya berkelanjutan demi keberimbangan ekologis, kesadaran akan pentingnya hidup sehat lintas pribadi dan ketaatan moral pelaku industri perlu ditumbuhkan dan ditegakkan.

Upaya ekonomis tidak boleh menyingkirkan aspek lain yang jauh lebih penting, yakni keselamatan dan kesehatan.

Perusahaan-perusahaan yang nakal bisa ditindak tegas oleh pemerintah manakala mengabaikan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dan bermain kucing-kucingan terkait aturan.

Demi meraup keuntungan mengorbankan keselamatan adalah kenaifan hidup dan keserakahan. Jakarta memang darurat ekologis, diperlukan revolusi besar-besaran terkait mental dan praktik dari tiap-tiap orang, lembaga dan institusi, semua elemen yang terkait dalam Jakarta sebagai ruang hidup bersama.

Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta, Alumnus Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Jokowi Tak Serius Dukung RK-Suswono

Jumat, 29 November 2024 | 08:08

Ferdian Dwi Purwoko Tetap jadi Kesatria

Jumat, 29 November 2024 | 06:52

Pergantian Manajer Bikin Kantong Man United Terkuras Rp430 Miliar

Jumat, 29 November 2024 | 06:36

Perolehan Suara Tak Sesuai Harapan, Andika-Hendi: Kami Mohon Maaf

Jumat, 29 November 2024 | 06:18

Kita Bangsa Dermawan

Jumat, 29 November 2024 | 06:12

Pemerintah Beri Sinyal Lanjutkan Subsidi, Harga EV Diprediksi Tetap Kompetitif

Jumat, 29 November 2024 | 05:59

PDIP Akan Gugat Hasil Pilgub Banten, Tim Andra Soni: Enggak Masalah

Jumat, 29 November 2024 | 05:46

Sejumlah Petahana Tumbang di Pilkada Lampung, Pengamat: Masyarakat Ingin Perubahan

Jumat, 29 November 2024 | 05:31

Tim Hukum Mualem-Dek Fadh Tak Gentar dengan Gugatan Paslon 01

Jumat, 29 November 2024 | 05:15

Partisipasi Pemilih Hanya 55 Persen, KPU Kota Bekasi Dinilai Gagal

Jumat, 29 November 2024 | 04:56

Selengkapnya