Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, dinilai melanggar kode etik lantaran membeberkan di hadapan publik mengenai pokok perkara yang belum diputuskan.
Pernyataan itu, adalah ketika Anwar Usman menyampaikan Indonesia membutuhkan sosok pemimpin muda. Hal ini, menjadi perdebatan, karena sedang berlangsung uji materi terhadap UU Pemilu.
Pernyataan Anwar Usman itu, terkait banyaknya gugatan
judicial review atau permohonan uji materi dalam syarat batas usia pencalonan capres-cawapres menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun.
Salah satu gugatan itu, diajukan Sunandiantoro, pengacara asal Banyuwangi, Jawa Timur.
"Saya Sunandiantoro, pengacara kampung menganggap pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di hadapan publik terhadap pokok perkara yang belum diputuskan adalah tindakan melanggar kode etik dan perilaku hakim Mahkamah Konstitusi," ujar Sunandiantoro dikutip
Kantor Berita RMOLJatim, Senin (11/9).
Menurutnya, pernyataan Anwar itu, menimbulkan persepsi publik bahwa MK bakal mengabulkan perkara batas usia capres dan cawapres. Padahal, saat ini masih dalam proses sidang belum diputus.
"Pernyataan beliau (Anwar Usman) yang menjawab pertanyaan dari BEM Unissula tersebut patut diduga mengesankan Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan batas usia capres cawapres minimal 35 tahun," katanya.
Sebelum muncul pernyataan itu, Sunandiantoro sudah menyampaikan kegamangannya mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan Anwar Usman berstatus suami dari adik Presiden Joko Widodo.
"Saya sampaikan secara tegas bahwa jangan sampai hubungan kekerabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan Mas Gibran Rakabuming Raka dapat menimbulkan kesan liar di publik," ungkapnya.
Kesan liar yang dimaksudkan Sunandiantoro adalah pertimbangan dan putusan permohonan batas usia minimal capres dan cawapres itu diduga dalam rangka memuluskan anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
Sehingga, kata dia, diduga putusan permohonan uji materi batas usia minimal tersebut tidak memenuhi
The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002.
"Yakni prinsip independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan serta prinsip kearifan dan kebijaksanaan yang seharusnya menjadi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi," pungkas Sunandiantoro.