Komisi Pemilihan Umum (KPU)/Ist
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye digugat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, ke Mahkamah Agung (MA).
Divisi Monitoring KIPP Indonesia, Bram AWK menjelaskan, permohonan uji materiil PKPU Kampanye dilayangkan pada 30 Agustus 2023.
Bram mengungkap, ada beberapa permasalahan dalam PKPU itu yang tak sesuai dengan norma terkait kampanye, di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Persoalan dalam PKPU No. 15 Tahun 2023 tersebut adalah adanya kerancuan antara sosialisasi Pemilu dan kampanye Pemilu," ujar Bram kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (8/9).
Dia menerangkan, ketentuan Pasal 79 Ayat 1 dan ayat 2 PKPU Kampanye seyogiyanya telah membatasi bentuk sosialisasi oleh Parpol yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu 2024.
"Parpol peserta pemilu, hanya diperbolehkan melakukan sosialisasi dengan metode pemasangan bendera parpol peserta Pemilu dan dengan mengadakan pertemuan terbatas di internal partai politik saja," urainya.
Namun yang terjadi saat ini, justru Bram mendapati pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang menampilkan citra diri menjamur di banyak tempat.
"APK oleh parpol peserta Pemilu dan bakal calon presiden serta calon legislatif," sambungnya menegaskan.
Karena itu, sosialisasi Pemilu yang diatur KPU dalam PKPU Kampanye tidak tegas membedakan sosialisasi dan kampanye, justru berdampak pada kerja pengawasan oleh jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Dampak ketidakjelasan rumusan terhadap pelaksanaan sosialisasi dan pendidikan politik sebagaimana dijabarkan di atas, berakibat pada lemahnya penindakan yang dilakukan Bawaslu, karena Bawaslu pun berpijak pada ketentuan Pasal 79 PKPU 15/2023," kata Bram.
Sebagai contoh, Bram menyebutkan contoh kasus dugaan pelanggaran kampanye berupa politik uang, yang terjadi di sebuah masjid di Sumenep, Madura.
"Amplop bergambar logo PDIP dan foto Said Abdullah serta Achmad Fauzi tersebut berisikan uang Rp 300.000. Namun, terhadap fenomena tersebut, Bawaslu tidak menghukum tindakan tersebut," kata Bram.
"Dengan demikian, dapat disimpulkan pelaksanaan sosialisasi yang menampilkan citra diri peserta Pemilu di awal tahapan Pemilu merupakan tindakan pembiaran pelanggaran Pemilu yang akan berdampak destruktif pada kualitas penyelenggaraan Pemilu," demikian Bram menambahkan.
Dalam gugatannya, KIPP membuat
petitum yang diharapkan dikabulkan MA, yakni memohon agar PKPU 15/2023 tetang Kampanye dinyatakan bertentangan dengan UU Pemilu, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, memohonkan MA agar menyatakan KPU melanggar prinsip berkepastian hukum dan profesional kerja.