Selebgram artificial intelligence dari Indonesia, Lentari Van Lorainne/Net
MERANGSEK! Keberadaan Artificial Intelligence -kecerdasan buatan semakin merasuk ke berbagai ruang kehidupan manusia.
Sebut saja, Lentari Van Lorainne sang selebgram virtual, yang dilahirkan melalui rekayasa algoritma. Imajinasi manusia menjadi wilayah tidak bertepi, perlu menghadirkan batas kesadaran.
Dalam ruang hidup kecerdasan buatan, kecerdasan manusia bertindak menjadi standar referensi dasar, sebagai sumber pembelajaran
machine learning. Kekaburan kecerdasan manusia dimasa mendatang, diproyeksi akan semakin tertinggal dari kemampuan intensif kecerdasan buatannya.
Realitas modern yang terintegrasi dengan kehidupan digital mengakibatkan situasi ketergantungan atas teknologi. Posisinya berubah dari sekadar menjadi sarana bantu, berubah menjadi penentu, dominasi digital seolah mulai bergeser dan mensubordinasi manusia.
Sesuai diktum McLuhan, teknologi adalah ekstensi dari manusia, yang seharusnya mampu dikendalikan. Determinisme teknologi yang sejatinya menjadikannya sebagai perkakas kemajuan bagi kehidupan manusia, berpotensi untuk berubah menjadi kemungkinan mimpi buruk. Hal yang tidak terbayangkan.
Pada setiap etape kehidupan manusia, selalu terdapat dua pilihan yang tampil, baik-buruk adalah konsekuensi dari keputusan kita. Selaras dengan pemikiran filsuf Slavoj Zizek, kereta kemajuan ini tidak terkendali karena eksploitasi manusia itu sendiri.
Kekeringan makna dalam kehidupan manusia, menjadi penyebab hilangnya kemampuan kontrol, sehingga tidak mampu melakukan pengendalian. Dalam artikel
The Posthuman Desert, (Zizek, 2023) manusia bertanggung jawab atas pilihannya mengenai masa depan yang diprediksi sebagai tahap
post-human.
Dalam kajian Zizek, mengutip Yuval Harari, ketika manusia mulai melakukan sintesis
superhuman dan bertindak layaknya sang pencipta, maka kecerdasan buatan yang akan semakin lebih cerdas dari manusia itu sendiri, menyebabkan esensi keberadaan manusia menjadi semakin tidak relevan sekaligus tidak berarti.
Penyebab malapetaka bagi peradaban manusia di era bioteknologi, kecerdasan buatan dan mahadata adalah manusia itu sendiri. Kapitalisme sebagai sistem dari mata uang modernitas, melepaskan kendali dibawah nilai akumulasi.
Dengan begitu, seharusnya regulasi menjadi pembeda, sayang penguasa sekaligus berperan ganda sebagai penangguk keuntungan dari nilai tambah.
Bila sedemikian suram, kabut polusi yang semakin pekat menggantung di langit masa depan, sudah sepantasnya etika, moralitas dan kemanusiaan menjadi kompas pemandu arah. Manusia pula yang menjadi kunci penentu kemana kemajuan ini akan berlabuh.
Para pemimpin memainkan peran signifikan untuk menavigasi kehidupan bersama. Publik sebagai entitas penting kehidupan bernegara perlu memberi batas tegas bila terjadi penyimpangan.
Refleksi akhir kekinian akan terkait pada situasi domestik, ketika kampanye politik mulai melibatkan kecerdasan buatan, menjadikan publik sebagai objek semata.
Jagat digital dan ruang virtual akan dipenuhi dan berseliweran disinformasi yang bukan fakta, bercampur sentimen serta menggumpalkan emosi. Berbahaya.
Perlu dipastikan bagaimana ruang sosial di tahun politik 2024, terlepas dari pencemaran rekayasa kecerdasan buatan, yang dipergunakan untuk memenangkan elite, mengambil keuntungan sesaat, serta berpotensi menghancurkan modal sosial utama bangsa, yakni rasa persatuan. Semoga masih ada kemanusiaan itu dalam diri manusia.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid