Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Tujuh Dekade Dianeksasi China, Tibet Masih Dicengkram Pelanggaran HAM

SENIN, 04 SEPTEMBER 2023 | 23:30 WIB | LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN

Situasi hak asasi manusia di Tibet telah menjadi persoalan lama sejak China menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1951.

Sudut pandang sejarah yang berbeda memperumit masalah ini, karena para pakar memperdebatkan kedaulatan Tibet secara historis.

Terlepas dari latar belakang sejarah ini, muncul pertanyaan tentang perlunya China menandatangani Perjanjian Tujuh Belas Poin dengan Tibet pada tahun 1951, yang mengakui Tibet sebagai bagian dari China dan tetap memberikan otonomi.

Meskipun Perjanjian Tujuh Belas Poin tampaknya memberikan otonomi kepada Tibet, tindakan Beijing justru sebaliknya. Banyaknya tekanan yang diberikan oleh China dinilai menjadi alasan bagi rakyat Tibet untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1959.

Salah satu yang paling memicu kemarahan warga Tibet adalah pengasingan Dalai Lama ketika menolak perjanjian tersebut, dengan menyatakan bahwa perjanjian tersebut dilakukan dengan kekerasan.

Usaha Beijing untuk mengintegrasikan orang Tibet juga dinilai ditangani dengan banyak kekerasan. Kerusuhan akhirnya kembali pecah selama protes pada tahun 2008, yang justru memicu cengkraman yang lebih ketat dari Beijing.

Bahkan di bawah pemerintahan Xi Jinping, cengkraman tersebut emakin erat lagi, khususnya dengan kebijakan "sinisisasi agama" yang mempengaruhi agama Buddha di Tibet.

Laporan berbagai kelompok HAM menyebut ada banyak pelanggaran HAM di Tibet, termasuk pengendalian dan penghancuran situs keagamaan, indoktrinasi politik, dan penahanan biksu dan biksuni. Warga Tibet dipaksa untuk meninggalkan Dalai Lama, bahkan demi pekerjaan, dan biara harus menunjukkan kesetiaan kepada Partai Komunis. Sementara komunikasi diawasi secara ketat, dengan pemadaman internet dan sensor.

UU siber dan tindakan keras komunikasi yang baru di China memperburuk situasi, membuat warga Tibet rentan terhadap pengawasan.

Kebijakan pendidikan bilingual bertujuan untuk mengasimilasi budaya Tibet dengan mengutamakan bahasa Mandarin dibandingkan bahasa lokal.

Pelestarian budaya terpuruk karena anak-anak Tibet ditempatkan di sekolah berasrama yang dikelola pemerintah, dan harus menjalani pelatihan gaya militer. Indoktrinasi partai mengupayakan kepatuhan kepada Partai Komunis.

Kekhawatiran internasional terlihat jelas ketika laporan PBB menyoroti pemaksaan asimilasi budaya anak-anak Tibet ke dalam budaya Han.

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya