APA yang disebut Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief, bahwa ada satu partai pengkhianat di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), itu pastilah bukan bualan asal tuduh sekenanya. Bukan pula sekadar twit asal ngetwit sesukanya. Apa yang disampaikan tentu tidak berdiri sendiri. Pastilah itu suara Partai Demokrat.
Mustahil jika Partai Demokrat, lewat Andi Arief, berani bicara super sensitif, jika tak ditemukan unsur yang sampai pada kesimpulan, sebagaimana yang ia sebut sebagai "pengkhianat" dalam koalisi.
Jelas disebut 1 partai "pengkhianat" dalam koalisi, meski tidak disebut nama partainya, tapi jelas itu ditujukan pada Partai Nasdem. Dibuat menjadi makin jelas saat disebut, hanya PKS dan Partai Demokrat, yang akan terus bersama.
"Kami akan terus bersama PKS, meski partai lain mengkhianati koalisi." Partai lain dalam koalisi tadi selain Demokrat dan PKS, ya Partai Nasdem.
Jika tuduhan Andi Arief itu tidak berdasar, maka cuitan di Twitter pribadinya itu punya konsekuensi merenggangkan soliditas dalam KPP. Amat merugikan. Maka, tugas Nasdem perlu membuktikan, bahwa apa yang dituduhkan itu tidak benar.
Tidak cukup bantahan sekadarnya dari Taufik Basari, salah satu Ketua Partai Nasdem, yang membantah dengan narasi normatif sekenanya, bahwa cuitan Andi Arief itu tidak berdasar. Partai Nasdem akan terus bersama Anies Baswedan sampai pencalonan nanti di bulan Oktober 2023, ucapnya.
Sedang PKS tampil lebih "bijak", yang mengatakan bahwa soliditas KPP masih terjalin baik, meski yang tampak di permukaan tidak sedang baik-baik saja. PKS memang mesti bersikap demikian, tetap membangun sikap optimistis bahwa semua bisa diselesaikan dengan cara baik-baik.
Tapi pilihan Partai Demokrat, melalui Andi Arief, memilih membukanya di ruang publik, itu pun tidak tercela, bahkan bisa disebut sikap sewajarnya. Agar publik bisa memahami tidak sekadar berhenti pada sebutan "pengkhianat", tapi lebih jauh dari itu munculnya dinamika politik eksternal yang menghendaki hanya ada 2 pasang capres-cawapres, Ganjar Pranowo beserta pasangannya, dan Prabowo Subianto beserta pasangannya, pada Pilpres 2024.
Dinamika politik eksternal itu makin tampak setelah politisi senior PDIP Abdullah Said mewacanakan Ganjar-Anies, yang disebutnya langkah baik. Apa yang disampaikannya tentu tidak ujuk-ujuk, pastilah ada latar belakang menyertainya.
Itu bisa jadi sekadar bacaannya dalam melihat kondisi internal KPP, dan perlu "menggoda" mewacanakan Ganjar-Anies. Atau, bisa jadi sudah terjadi penjajakan PDIP dengan salah satu partai yang tergabung dalam KPP.
Melihat wacana yang muncul, Anies perlu mengatakan, jika akan bicarakan pasangan mestinya masuk dulu dalam koalisi (KPP), baru wacana itu bisa dibicarakan bersama partai anggota koalisi lainnya.
Keinginan kelompok eksternal memunculkan hanya ada 2 pasangan capres-cawapres, maka perlu disandingkannya Ganjar-Anies. Sedang Prabowo akan bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka, tentu menunggu MK memutuskan batas usia minimal 35 tahun seseorang boleh dicalonkan sebagai capres atau cawapres.
Munculnya wacana Gibran-Anies, ini yang mestinya perlu disikapi Nasdem dengan serius, sehingga tidak perlu muncul spekulasi adanya "pengkhianat" dalam KPP. Jika setuju dengan wacana Ganjar-Anies--koalisi yang seperti ingin menyatukan air dengan minyak, tanpa berunding dengan anggota koalisi lainnya, maka tuduhan Partai Demokrat lewat Andi Arief, bahwa ada 1 partai "pengkhianat" di KPP, itu seperti menemukan kebenarannya.
Partai Nasdem seolah mampu meyakinkan Anies, bahkan bisa jadi sampai tahap "menekan", agar Anies bersepakat dengan Nasdem menerima wacana Ganjar-Anies. Bagi siapa yang mengenal Anies dengan baik, jika perlakuan "menekan" perlu dilakukan Nasdem, itu sepertinya akan bertepuk sebelah tangan. Anies pribadi yang pantang ditekan-tekan, yang sampai akan meruntuhkan integritasnya.
Sekali lagi Nasdem perlu mengklarifikasi dengan jelas, apakah dinamika Ganjar-Anies masuk dalam hitung-hitungan politik internal Nasdem. Artinya, jika Anies tidak bisa diusung sebagai capres, maka wacana Anies jadi cawapres itu keniscayaan. Jika itu yang diskenariokan Nasdem, pastinya tanpa berunding dengan Demokrat dan PKS, maka sekali lagi kata "pengkhianat" yang disematkan pada Nasdem, itu seperti menemui kebenarannya.
Karenanya, perlu dimunculkan pertemuan tim 8 dan Anies, dan tidak seperti biasanya pertemuan itu dihadiri Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Dipilih Grand Hyatt menjadi tempat pertemuan, Kamis (24 Agustus 2023). Pertemuan sampai memakan waktu lebih kurang 4 jam. Tentu bukan sekadar pertemuan silaturahim biasa. Tentu lebih pada dinamika yang sampai memunculkan label "pengkhianat", dan itu perlu diluruskan langsung oleh Surya Paloh.
Memang tidak persis tahu jalan kisah sebenarnya dari pertemuan itu. Tapi setelah pertemuan berlangsung, Surya Paloh dan Anies memberikan penjelasan sekadarnya, seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan Anies menegaskan koalisi makin solid.
Tapi bahasa tubuh Surya Paloh mengisyaratkan ada beban yang sangat yang sulit dijelaskan. Dan, pertemuan panjang itu sepertinya belum pada satu kesepakatan, utamanya siapa pendamping Anies dalam Pilpres 2024.
Lalu malam berikutnya, tim 8 dan Anies perlu mendatangi Ketua Badan Pertimbangan Partai Demokrat, di Cikeas, Jum'at (25 Agustus 2023). Tidak ada keterangan yang diberikan Anies pada juru warta yang bisa menjelaskan isi pertemuan, kecuali mengulang bahwa koalisi tetap solid, dan disebutkan bahwa Anies banyak mendapat masukan dari presiden ke-6, yang punya pengalaman 10 tahun memimpin negeri.
Anjangsana tim 8 bersama Anies dilanjutkan pada pagi harinya, Sabtu (26 Agustus), ke rumah Ketua Dewan Syuro Dr. Salim Segaf Aljufri. Anies pun memberikan penjelasan, bahwa ketiga tokoh yang ditemuinya bersama tim 8 punya pandangan yang sama, pentingnya menjaga persatuan dan soliditas.
Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dalam ujian berat. Ujian yang tidak saja dari eksternal yang terus membegal-begal Anies dan KPP-nya dengan berbagai cara yang dimungkinkan. Juga tak kalah berat adalah ujian soliditas di antara internal partai koalisi, yang membutuhkan sikap bijak dalam mengelola persoalan yang muncul.
Dinamika internal yang muncul di KPP, yang sampai disikapi Andi Arief (Demokrat) sampai perlu melontarkan kata "pengkhianat", itu pun tak bisa disebut salah. Tapi boleh jika disebut langkah tergesa-gesa memilih mengeksposenya ke ruang publik. Semua tentu punya hitungan-hitungannya sendiri, dan waktu nantinya akan menentukan.
*Penulis adalah seorang kolumnis