Hamdan Zoelva (kedua dari kiri) saat menjadi narasumber FGD bertajuk "Disharmoni & Overlaping Sebuah Peraturan Pemerintah" di Jakarta, Senin (21/8)/Ist
Persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih menjadi tugas rumah bagi pemerintah. Sebab, sudah 25 tahun lebih, masalah ini belum selesai seluruhnya. Banyak uang negara pun yang belum terbayarkan oleh penerima bantuan.
Persoalan semakin kompleks ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2022 tentang Pengurusan Piutang Negara Oleh Panitia Urusan Piutang Negara. PP ini dianggap bertentangan dengan Undang-undang di atasnya.
“Saya kira ada banyak masalah di PP ini yang harus diperbaiki. Ada banyak norma-norma yang ada di dalamnya bertentangan dengan UU dan peraturan lainnya yang bertentangan di dalamnya," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/8).
Ada sejumlah pasal yang dikritisi Hamdan dalam PP tersebut, di antaranya Pasal 1 terkait warisan hutang. Dalam pasal tersebut berbunyi pihak yang memperoleh hak adalah orang atau badan yang karena adanya perbuatan, hubungan hukum dan/atau peristiwa hukum telah menerima pengalihan atas kepemilikan uang, surat berharga dan/atau barang dari penanggung utang/penjamin utang.
Selain itu, Pasal 7 ayat 1 tentang kewenangan PUPN yang bisa menerbitkan surat permintaan izin mencabut hak keperdataan dan layanan publik, tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) hingga Passpor itu melanggar UU No 39 tentang HAM dan melanggar UU No 25 tentang pelayanan publik serta Pasal 49-53 soal tindak keperdataan atau layanan publik bertentangan dengan UU No 39.
“Pasal 77 soal upaya hukum oleh penanggung hutang, penjamin hutang, pihak yang memperoleh hak atau pihak ketiga lainnya tidak dapat diajukan terhadap sahnya atau kebenaran piutang negara, baik di pengadilan maupun di luar melanggar Pasal 17 UU HAM soal hak memperoleh keadilan,” sambungnya.
Oleh karena itu, Hamdan berpendapat, Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi salah satu jalan terbaik untuk menguji PP ini. Penyelesaian kasus BLBI ini harus dilaksanakan secara adil dan bijak.
Sebab, kasus ini sudah berlalu lama. Fakta yang terjadi adalah banyak pihak sudah puluhan tahun tidak ditagih, kini diminta membayar utang pokok beserta denda dan bunga.
"Dengan menggunakan PP ini, kacamata kuda ingin ditegakan, ini akan menjadi masalah, akan menimbulkan ketidakadilan, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah yang lebih bijak dan dialogis dalam menyelesaikan masalah BLBI secara bijak dan adil," imbuh Hamdan.
Jika tidak memenuhi unsur adil dan bijak, maka pemerintah tidak akan mudah mengimplementasikan PP 28/2022 ini. Karena akan terus mendapat perlawanan hukum.
"Jangan melihat mereka sebagai musuh, melihat mereka sama-sama membangun bangsa dan negara, karena itu kita akan melihat secara seimbang dan adil. Yang menjadi masalah ini adalah kebijakan negara di masa lalu saat masa krisis yang tidak dapat dihindari," pungkas Hamdan.