SUDAH sejak setahun terakhir, menginjak usia yang semakin menua, saya kerap kali mendengar kawan, sahabat, ataupun saudara dekat berpulang.
Tiap kali berita itu dikabarkan, membawa saya pada beberapa pertanyaan: Apakah arti sebuah kematian? Apakah arti sebuah perjuangan nilai? Apakah arti menjadi manusia? Dan ingin seperti apa kita dikenang?
Bagi mereka yang telah menghembuskan napas terakhir, mereka menutup kehidupannya dengan warna masing-masing. Kita seringkali berusaha fokus mengingat kebaikan-kebaikan almarhum/almarhumah; mesti kadang gagal karena sedikit-sedikit terselip ingatan betapa ugal-ugalannya mereka saat masih hidup. Begitulah manusia, tidak ada yang hitam putih.
Dikarenakan kita sulit menilai manusia secara kontras hitam-putih, postulat ini menjadikan manusia digampangkan dalam memilih jalan. Memilih warna kehidupannya.
Ada yang ngotot untuk menjadi manusia super baik tetapi malah membuat jengkel karena nasihat-nasihatnya sering mengusik ranah personal. Ada yang hidupnya suka-suka tetapi malah banyak menghibur manusia di sekelilingnya. Itulah kita: manusia.
Orang seringkali mengatakan: hidup itu sederhana. Sekadar menjalani lelakon. Namun hidup menjadi begitu rumit ketika kita sudah berada pada fase memperjuangkan keyakinan.
Kita bisa begitu ngotot ketika sudah bicara nilai agama. Kita bisa begitu getol dalam memperjuangan hal-hak politik. Pun kita juga bisa begitu terpesona atas nilai-nilai sosial yang menjahit kehidupan itu sendiri: keluarga, tetangga, dan masyarakat.
Pilihan-pilihan itu membuat kita merasa telah menjadi manusia baik. Kita bertarung, berlelah, dan berkeringat hingga uzur. Sampai waktunya tumbang dan mati.
Akan tetapi apakah benar kita telah meraih sebutan sebagai manusia baik? Ternyata pada saat ujung akhir hidupnya di bumi, manusia tidak mudah menggapai value dan idealisme yang dia perjuangkan.
Berpindah jalan, bergeser jalur, berpisah gerbong, atau pun loncar pagar seringkali mereka lakukan. Alasannya banyak. Bisa ratusan hingga ribuan argumen untuk membenarkan pilihan atas keputusan-keputusannya itu.
Hal inilah yang membuat saya tidak tertarik ketika ada gelombang pujian pada seseorang yang sedang berkuasa atau orang yang dianggap sedang mencapai kesuksesan karena pada saatnya mati kita tidak tahu apakah sosok itu penuh konsistensi atau tidak. Kita hanya bisa menilai saat jasadnya telah berpisah dengan ruhnya.
Itulah mengapa, meski saya harus kehilangan dua kawan baik di hari yang berturut-turut, kesedihan yang saya rasakan bercampur dengan rasa penghormatan dan kebanggaan.
Ya, Nirwan Ahmad Arsuka berpulang pada tanggal 7 Agustus kemarin, kemudian disusul kepergian Raharja Waluya Jati sehari setelahnya. Dua orang sahabat yang mungkin tidak menyangka bahwa selain mereka pergi terlalu cepat, hari keberangkatannya pun begitu dekat.
Saya bangga pernah menjadi bagian pertemanan dengan mereka. Masa-masa mahasiswa di Yogyakarta awal 1990-an. Saat kami penuh gelora melakukan perlawanan terhadap Orde Baru.
Melawan Soeharto yang begitu buas menindas: tak ada demokrasi. Soeharto gemar mengirimkan pasukan bersepatu lars dan mengarahkan moncong senjata pada kami, anak muda, yang meneriakkan ketidakadilan.
Diselingi sesekali rasa ngeri saat demonstrasi yang kadang brutal, saya mengenal Nirwan sebagai sosok yang murah senyum, tenang, dan fokus. Yang paling mengejutkan saya tentang dirinya adalah ketika teman-teman di UGM mengatakan kalau Nirwan adalah mahasiswa teknik nuklir. Wow.
Nirwan hanya tertawa kecil ketika saya mengonfirmasi tentang hal ini dan saya tutup obrolan kami dengan mengatakan kelak kau harus membuat senjata yang bisa membungkam para diktator.
Pembawaan Jati pun hampir sama dengan Nirwan: tenang dan murah senyum. Bedanya Jati lebih luwes bila diajak berbincang. Mungkin ini ciri pembanding antara anak filsafat dan anak teknik nuklir.
Selepas tamat kuliah, kami hanya bertemu sekali dua. Saya tahu Nirwan dan Jati banyak berkegiatan di Jakarta. Berjejaring dengan kawan-kawan dan para senior. Energi mereka tidak pernah pupus sebagaimana saat kami di Yogyakarta dulu.
Bahkan dengan Nirwan, perjumpaan terakhir adalah 15 tahun lalu. Ketika kami bersemangat memimpikan ada anak muda yang bisa jadi Presiden pada tahun 2009. Kami bertemu di kediaman Rizal Mallarangeng di kawasan Menteng, Jakarta. Saat itu Rizal Mallarangeng sedang berjuang untuk menjadi Calon Presiden.
Setiap kali bertemu Nirwan, kawan-kawan selalu takjub. Anak teknik nuklir yang lebih menikmati atmosfer kebudayaan. Masuk ke pelosok, bertemu dengan masyarakat pedesaan.
Tulisan-tulisannya tentang kebudayaan dan peradaban seringkali muncul di harian Kompas. Nirwan pun pernah bekerja di sana. Belakangan orang lebih mengenalnya sebagai penggerak dan pegiat gerakan literasi.
Bagaimana dengan Jati? Saya sesekali bertemu dengannya ketika saya bekerja di Istana Presiden bersama Andi Arief pada periode kedua pemerintahan SBY. Jati beberapa kali mampir menyapa, bernostalgia, dan tetap menunjukkan kegelisahan yang sama: ingin melihat Indonesia yang lebih baik. Setelahnya kami lebih banyak bertukar sapa lewat
platform Facebook.
Perjumpaan terakhir dengan Jati sekitar 17 bulan lalu di Jakarta. Yang sebenarnya dalam bulan itu kami acap jumpa karena dipenuhi dengan cita-cita bahwa Indonesia harus mendapat presiden generasi baru di tahun 2024.
Diskusi kami sempat saya sampaikan juga pada Nezar Patria yang kini menjadi Wakil Menteri Kominfo. Nezar sedikit terperanjat karena baginya 2024 masih lama.
Diskusi-diskusi dengan Jati pada waktu itu, saya lebih banyak mendengarkan pemikiran-pemikirannya. Pada saat yang bersamaan, saya melihat diaspora kami semakin mengembang.
Betapa tidak, Jati mengatakan bahwa Anies Baswedan sudah beberapa kali bolak-balik Jakarta-Yogyakarta menemui kawan-kawan aktivis. Tawaran perjuangan Anies dalam pencapresan dianggap menarik bagi sebagian kawan-kawan.
Saya pun ikut diajak oleh Jati dengan mengatakan bahwa kalau di barisan Ganjar, kawan-kawan kita sudah banyak di sana. Bagi Jati, Anies perlu dikawal dengan pemikiran-pemikiran yang lebih revolusioner agar tidak terlalu terkoptasi oleh kelompok-kelompok konservatif.
Saya hanya menjawab dengan tersenyum karena sejak mahasiswa saya memang sulit menerima gaya perjuangan Anies yang cenderung eksklusif itu. Meski jelas setitik kata pun kami tidak pernah berpikir untuk masuk di gerbongnya Prabowo. Apalagi Jati pernah menjadi korban penculikan.
Selepas pertemuan 17 bulan lalu itu, kami hanya sesekali-dua bersapa lewat aplikasi whatsapp. Mungkin Jati sudah tahu kalau saya memang tidak memilih gerbong yang sama dengannya. Namun sebagaimana aktivis yang berjuang bersama-sama saat mahasiswa di Yogya dulu, kami semua saling menghargai pilihan masing-masing.
Meski kritik dan kecurigaan kerap terlontar di waktu-waktu tertentu. Bukan karena kebencian tetapi lebih pada kekhawatiran sesama sahabat tentang masa depan Indonesia.
Nirwan dan Jati, mesti mereka lebih dulu wafat, mereka adalah manusia-manusia yang lulus uji. Manusia-manusia yang terus menjaga konsistensi memperjuangkan ketidakadilan. Nama kalian besar bagi Indonesia. Jauh dibanding nama-nama ajaib yang mondar-mandir di televisi hari ini.
Mungkin hanya segelintir orang yang tahu dan ingat nama kalian tetapi bersyukurlah bahwa kalian dikelilingi oleh kawan-kawan yang rata-rata mampu menulis.
Mereka semua ramai menuangkan kenangan dan duka citanya di berbagai platform media. Sungguh sebuah penghargaan yang sepadan bagi orang-orang baik. Selamat jalan Nirwan dan Jati.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.
*Penulis adalah Consultant Director Citra Indonesia