Raja Perancis Louis XVI/Net
JULI adalah bulan di mana Raja Perancis Louis XVI mencatat dalam buku hariannya "Rein: Tak ada apa-apa hari itu".
22 Juli 1789. Di Istana Tuileries yang ia diami sejak ia didesak meninggalkan Istana Versailles dan pindah ke Paris. Raja Perancis itu tak tahu apa yang sedang terjadi beberapa kilometer dari kursinya. Menjelang senja yang panjang hari itu, Penjara Bastille diserbu dan direbut rakyat.
Tembak-menembak berlangsung. Di depan halaman luar penjara itu, sekitar 1.000 penduduk Paris berhimpun: tukang kayu, pedagang anggur, penjaga kafe, pengusaha cabaret , penjahit, pedagang daging, pemilik pabrik bir, dan ratusan tentara yang diam-diam meninggalkan induk pasukannya dan bergabung dengan warga.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Simon Schama dalam bukunya Citizens, sebenarnya mereka cemas. Ada desas-desus, pasukan disiapkan untuk memadamkan para pemberontak yang menentang Raja. Keadaan genting. Orang marah di mana-mana. Harga-harga naik, mencekik. Di Lyon terbit kerusuhan di jalanan. Di Paris beberapa kali kantor cukai diserbu dan dibakar.
Juli juga mencekam penduduk miskin, sebab itulah masa ketika segala utang dan sewa harus dibayar. Mereka berjalan di sepanjang kota dalam eksodus yang tak jelas.
Ibu kota makin rusuh. Ketidakpuasan menjalar ke kalangan militer yang lebih memihak
le troisieme etat, penduduk miskin yang bukan dari kalangan aristokrat istana. Sementara itu, milisi bersenjata yang dibentuk untuk menertibkan kerusuhan,
gardes francaises, yang terdiri dari anak-anak muda dari pedesaan, ikut tak setia kepada istana. Bersama penduduk, mereka akhirnya jadi bagian dari “penakluk Penjara Bastille”.
Gubernur penjara, De Launay melengkapi Bastille dengan 350 barel amunisi dan 25 kanon di delapan menara setinggi 20 meter. Ada tiga pucuk lagi yang terarah ke gerbang. Akhirnya bentrokan tak terelakkan. Para penjaga Bastille tak bisa bertahan.
De Launay ditangkap. Tapi ia tak menyerah. Ia berteriak, menendang, dan meludahi orang sekitarnya. Ia segera tewas oleh pelbagai senjata tajam. Seseorang memotong lehernya dengan pisau belati. Kepalanya diarak.
Apa yang terjadi sebenarnya? Raja bertanya kepada orang yang melaporkan kejadian hari itu: “Pemberontakan? Sang pelapor menjawab, “Bukan, Paduka, revolusi.”
Tak jelas sebenarnya apa bedanya. Meskipun dalam kisah perebutan Bastille, kata “revolusi” mendapatkan auranya tersendiri.
Sejak itu orang tak berpaling dari apa yang mengimbau dari aura itu. “Revolusi” disebut sampai berabad-abad berikutnya, jadi penanda hasrat untuk menghadirkan apa yang diserukan di Perancis hari-hari itu: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan bagi siapa saja dan kapan saja, sesuatu yang menjangkau yang tak terhingga.