Sejumlah tokoh tergabung dalam petisi 100 dan mendesakl pemakzulan Presiden Joko Widodo/Net
SEBANYAK 100 orang tokoh dari sebagian masyarakat menandatangani petisi. Tokoh-tokoh tersebut berasal dari militer (purnawirawan?), ulama, emak-emak, cendikiawan, dan aktivis.
Sebagian dari mereka datang melakukan audisi ke Gedung MPR dan diterima oleh Tamsil Linrung dari DPD per 20 Juli 2023. Mereka meminta MPR segera bersidang untuk memberhentikan Presiden Joko Widodo, sebelum masa jabatan presiden berakhir.
Alasan pemberhentian tersebut adalah pertama, presiden lebih dominan mengutamakan melayani kepentingan oligarki dibandingkan rakyat banyak. Kedua, Presiden menjadikan hukum sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan politik praktis.
Ketiga, perekonomian mengalami kegagalan, di mana utang luar negeri sangat besar, investasi stagnan, rakyat semakin miskin, oligarki semakin kaya. Keempat, terjadi pelanggaran HAM berat dan pemerintah menuduh TNI melakukan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966.
Kelima, Presiden ikut campur tangan pada proses pencapresan 2024.
Berbagai usaha untuk memakzulkan Joko Widodo sebagai presiden bukanlah masalah yang pertama kali terjadi. Sejak awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pun, ketika tahun pertama telah muncul persoalan keinginan untuk memakzulkan.
Akan tetapi alasan pemakzulan berbeda. Sekarang ini diawali oleh pembangkitan
people power dan terakhir menjadi petisi 100.
Dewasa ini jumlah anggota DPD sebanyak 136 anggota. Jumlah anggota DPR RI sebanyak 575 anggota. Jadi, jumlah anggota MPR RI sebanyak 711 anggota.
Berdasarkan Pasal 7B ayat (1) dari UUD 1945 hasil Amandemen, disebutkan bahwa usul pemberhentian presiden dan/atau wapres dapat diajukan oleh DPR kepada MPR.
Artinya, pengusul pemakzulan hanya dilakukan oleh DPR, bukan oleh DPD.
UUD 1945 sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada DPD untuk dapat mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wapres kepada MPR (Pasal 22D).
Artinya, berdasarkan tinjauan aspek hukum semata, maka audisi petisi 100 itu seharusnya bukan kepada DPD, terlebih pada masa reses, melainkan kepada DPR RI.
Dari aspek politis, DPR hanya dapat secara sah untuk mengusulkan pemakzulan, hanya jika mendapat dukungan minimal dari 2/3 anggota yang hadir pada sidang paripurna dan dihadiri dari minimal 2/3 anggota DPR.
Sekalipun berandai-andai secara ekstrem telah terjadi pengusulan suara dari PKS, Demokrat, dan Nasdem sebanyak total 25,03 persen dari suara DPR RI, maka sungguh amat sangat sulit terjadi peristiwa usulan pemakzulan dapat muncul dari DPR RI.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat memutus pendapat DPR. Namun, MK hanya dapat memutus untuk pelanggaran yang sama sekali bukan untuk penggunaan kelima alasan tersebut di atas.
Artinya, prospek manuver politik pemakzulan formal masih sangat jauh dari keberhasilan, jika mengacu UUD 1945.
Peneliti Institute for Development for Economics and Finance (Indef); pengajar Universitas Mercu Buana