Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta/RMOL
POLEMIK oal perkawinan beda agama semakin lama semakin menemukan titik temunya. Pelan-pelan kesadaran bahwa hal itu tak sesuai prinsip dasar Pancasila, utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mulai muncul.
Argumentasi itu didasari atas terbitnya Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
SEMA itu memuat setidaknya dua hal yang perlu dipedomani oleh hakim. Pertama, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Kedudukan SEMA dalam Islam SEMA dalam terminologi Hukum Islam, atau Fiqh, mungkin dapat disetarakan dengan fatwa. Fatwa adalah pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengingat.
Sesuai dengan hasil Munas dan Konbes NU di Cirebon pada tahun 2019, menurut Nahdlatul Ulama, Mahkamah Agung adalah lembaga otoritatif di Indonesia yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa. Selain Mahkamah Agung, menurut Kyai Said Aqil, tidak boleh ada lembaga lain yang mengeluarkan fatwa.
Artinya, apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung secara fiqh memiliki pijakan yang jelas. Sudah benar. Sehingga SEMA dapat dipedomani untuk menghentikan perselisihan hukum yang selama ini terjadi antara UU Perkawinan dan UU Adminduk. Sebagaimana kaidah fiqh “hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf” yang artinya keputusan hakim adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan.
Secara Konstitusi Akan tetapi hukum di Indonesia tidaklah sepenuhnya mengacu pada hukum salah satu agama. Hukum di Indonesia melebur bersama masyarakat yang beragam, berbeda suku, agama, ras, dan antar golongan, dengan didasari oleh konstitusi. Tata cara penentuan keabsahan aturannya pun harus mengikuti peraturan pembentukan perundang-undangan.
Secara konstitusi, atau hukum negara, SEMA tidaklah cukup untuk memutus persoalan tentang Perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama. SEMA justru dapat menimbulkan persoalan baru yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang hendak diselesaikan oleh SEMA itu sendiri.
Pertama, kedudukan SEMA di dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah Undang-Undang. Sifatnya pun hanya mengikat secara internal. Sehingga SEMA, apapun tujuannya, tidak bisa dijadikan dasar hukum yang mengikat bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara.
Kedua, SEMA ini juga bisa menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan, utamanya bagi kedudukan hakim, yang semestinya dijaga agar tetap independen dan imparsial. Hakim, dengan terbitnya SEMA ini, terkesan dapat diatur oleh sesuatu di luar dirinya (locus of control external). Kenyataan ini tentu mengkhawatirkan, terlebih mungkin saja suatu saat nanti kemudian muncul edaran-edaran serupa untuk kasus yang berbeda.
Jalan Penyelesaian Oleh sebab itu persoalan ini mesti segera direspon oleh lembaga Eksekutif dan Legislatif. Respon yang mampu menyatukan gelombang pemikiran masyarakat, niat baik Mahkamah Agung dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Respon yang mungkin dilakukan adalah dengan segera melakukan revisi atas UU Adminduk agar dapat selaras dengan UU Perkawinan. Revisi ini tentu berpijak pada kenyataan bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama akan tetapi Indonesia adalah negara yang mewajibkan tiap-tiap warganya beragama.
Sebagaimana dikatakan Soekarno dalam Pidato 1 Juni, "bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa."Toh upaya untuk melindungi hak-hak warga negara itu tidak berarti harus melindungi semua tindakannya. Terlebih apabila tindakan tersebut keluar dari nilai-nilai pandangan hidup bersama yang disepakati (baca : Pancasila).
Tidak mengakui dan mencatatkan Perkawinan antarumat beragama yang berbeda Agama, tidak berarti kemudian semua hak-hak mereka yang lain, yang wajib dipenuhi oleh negara, lantas tidak diakui. Tetap diakui dan dilindungi, termasuk soal harta benda dan anak yang lahir atas perkawinan tersebut.
Selain karena prinsip Ketuhanan, revisi Undang-Undang dalam upaya menyelaraskan UU Adminduk dan UU Perkawinan juga memiliki tujuan untuk menjaga marwah dan independensi hakim. Agar nantinya hakim dapat tetap memutus suatu perkara atas keyakinannya yang didasari oleh undang-undang bukan yang lain atau bukan oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Penutup
Kadangkala untuk melakukan kebaikan memang memerlukan jalan yang berliku. Tetapi jalan yang berliku itu harus tetap dilewati, dilewati dengan tanpa harus menduga-duga risikonya, karena semua yang disepakati sebagai kebaikan yakinlah bahwa hasilnya adalah juga kebaikan.
Termasuk melewati jalan yang berliku dalam rangka untuk menjaga agar syarat-syarat perkawinan itu tetap sesuai dengan prinsip ajaran masing-masing agama yang diakui di Indonesia. Dan untuk tetap menghargai serta menjaga wibawa hakim.
*
Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta