Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping/Net
Upaya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara bayaran Wagner di Rusia pada pekan lalu disebut telah menguak betapa lemahnya kekuatan Vladimir Putin. Hal itu dinilai berpengaruh terhadap hubungan Moskow dengan Beijing.
Meski berumur pendek, pemberontakan Wagner telah berdampak jauh melampaui batas Rusia. Dalam 24 jam, Wagner yang dipimpin Yevgeny Prigozhin menarik perhatian dunia saat mengambil alih kota Rostov.
Menurut analis geopolitik Gordon Chang, manuver yang dilakukan Prigozhin telah memberikan dampak besar dan berdampak pada koalisi Rusia-China.
Persahabatan Rusia dan China telah dimaktubkan dalam kemitraan tanpa batas oleh Presiden Putin dan Presiden Xi Jinping. Keduanya digadang-gadang menjadi kekuatan besar yang dapat melawan Barat.
Bagi rezim Tiongkok, Rusia diandalkan sebagai sekutu yang efektif untuk menumbangkan tatanan dunia yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
“China sedang mencoba untuk membalikkan seluruh sistem internasional. Meskipun China kuat, itu tidak sekuat itu. Itu membutuhkan sekutu seperti Putin, dan jika Putin tidak akan bertahan, maka China dalam masalah,” kata Chang.
Penulis “The Coming Collapse of China” itu juga menyoroti reaksi Beijing yang tetap diam ketika pasukan Prigozhin berbaris di Moskow. Beijing hanya menanganinya untuk pertama kalinya sehari setelah pemberontakan dihentikan.
“Ini urusan dalam negeri Rusia. Sebagai tetangga ramah Rusia dan mitra koordinasi strategis yang komprehensif untuk era baru, China mendukung Rusia dalam menjaga stabilitas nasional dan mencapai pembangunan dan kemakmuran," ujar jurubicara kementerian luar negeri China, seperti dikutip
The Epoch Times.
Menurut Chang, reaksi tertunda dari Beijing adalah karena tidak tahu harus berkata apa.
“Masalah di sini untuk Xi Jinping adalah karena dia menyatakan kemitraan ‘tanpa batas’ dengan Rusia. Dan mitra 'tanpa batas' ini hampir digulingkan dalam perkembangan yang menakjubkan itu. Jadi saya pikir China sedikit terguncang oleh ini," jelas Chang.
Lebih lanjut, Chang berpendapat situasi Putin saat ini mirip dengan kudeta singkat pada 1992, ketika kelompok garis keras dari Partai Komunis Uni Soviet mengurung pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev di vila liburannya di Krimea. Itu adalah pemicu yang menyebabkan runtuhnya Uni Soviet empat bulan kemudian.
“Dia (Putin) mampu mencegah pemberontakan untuk menggulingkannya, tetapi Rusia telah mengalami destabilisasi," pungkasnya.