Berita

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump/Net

Suara Mahasiswa

Peran Amerika Serikat Terhadap Krisis Venezuela pada Kepemimpinan Donald Trump

OLEH: NASYWA SHELLENA*
SABTU, 01 JULI 2023 | 21:56 WIB

KRISIS Venezuela yang telah berlangsung sejak tahun 2016 merupakan krisis ekonomi terburuk yang pernah dialami negara tersebut. Krisis ekonomi yang kemudian menciptakan efek domino terhadap aspek-aspek lain ini dimulai sejak pergantian kepresidenan Venezuela dari Hugo Chavez ke Nicolas Maduro. Kebijakan luar negeri Venezuela di bawah Maduro sebenarnya masih mengikuti kebijakan yang telah dilakukan oleh Chavez sebelumnya. Namun, Venezuela justru mengalami kemunduran yang sangat drastis dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik pada era kepemimpinannya.

Krisis ekonomi di Venezuela diawali dengan jatuhnya harga minyak dunia di tahun 2014 yang tidak bisa diatasi dengan baik oleh pemerintahan Maduro. Pendapatan Venezuela yang menurun drastis serta tingginya utang negara tersebut menyebabkan banyak terjadinya protes dan demonstrasi di Venezuela. Namun, pemerintahan Maduro merespon protes secara represif yang kemudian menimbulkan adanya krisis kemanusiaan di negara tersebut.

Pada Januari 2016, Presiden Maduro menetapkan status darurat untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di negara yang kaya akan minyak tersebut. Tetapi, sejak pertengahan tahun 2017 kondisi ekonomi, sosial, dan politik Venezuela justru semakin tidak stabil. Aksi demonstrasi anti pemerintah semakin meluas hingga menewaskan banyak warga sipil. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya banyak warga Venezuela yang terpaksa meninggalkan negara tersebut dan mencari perlindungan di negara-negara lain.

Venezuela dan Amerika Serikat secara historis memiliki hubungan yang cukup baik karena faktor kedekatan geografisnya serta hubungan timbal balik pemanfaatan minyak Venezuela. Sejak masa Perang Dunia I hingga era kepemimpinan Presiden Rafael Caldera periode kedua (1994-1999), Amerika Serikat selalu menunjukkan minat serta dukungannya terhadap Venezuela meskipun negara tersebut telah beberapa kali mengalami ketidakstabilan politik dan ekonomi. Hal ini karena Amerika Serikat masih memiliki kepentingan di negara tersebut, seperti eksplorasi minyak serta sumber daya alam lainnya.

Namun, hubungan keduanya kemudian memburuk setelah penasihat Presiden Hugo Chavez, Guillermo Garcia Ponce menyatakan bahwa Amerika Serikat di bawah pemerintahan George W. Bush telah merencanakan dan mendukung upaya kudeta Chavez di tahun 2002.

Dalam merespon krisis di Venezuela, Amerika Serikat membuat kebijakan-kebijakan luar negeri untuk mengatasi krisis.

Pada masa kepemimpinan Donald Trump, kebijakan yang ditetapkan oleh Amerika Serikat terkesan lebih keras karena mereka mengerahkan “maximum pressure” atau kampanye tekanan maksimal untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Maduro.

Kebijakan Amerika Serikat pertama adalah dengan menggunakan isu HAM, seperti intervensi kemanusiaan, mengeluarkan sanksi berdasarkan HAM, serta mengadakan kegiatan yang dinaungi oleh lembaga HAM internasional seperti melakukan kampanye-kampanye internasional.

Kebijakan yang kedua adalah dengan memberikan sanksi ekonomi, seperti sanksi keuangan terhadap Venezuela melalui tiga Executive Order (E.O); 1) membatasi akses pemerintah Venezuela ke akses utang dan ekuitas AS, 2) melarang transaksi yang melibatkan penerbitan dan penggunaan mata uang digital, dan 3) melarang transaksi AS yang berkaitan dengan pembelian utang Venezuela. Kebijakan ketiga adalah terkait intervensi politik, yaitu dengan restorasi demokrasi di Venezuela dan upaya melakukan kudeta terhadap Maduro.

Bahkan, pada tahun 2017 lalu, Presiden Trump menyatakan bahwa ia memberikan opsi intervensi militer terhadap Venezuela jika diperlukan. Selain itu, Amerika Serikat bersama dengan puluhan negara lainnya menyatakan bahwa mereka mendukung pemimpin oposisi Venezuela, yaitu Juan Guaido, dan mengakui bahwa ia merupakan presiden sah Venezuela.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Populer

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Pilkada Jateng dan Sumut Memanas Buntut Perseteruan PDIP Vs Jokowi

Minggu, 03 November 2024 | 13:16

Ketum PITI Sayangkan Haikal Hasan Bikin Gaduh soal Kewajiban Sertifikasi Halal

Kamis, 31 Oktober 2024 | 20:01

Inilah Susunan Dewan Komisaris IPC TPK Baru

Jumat, 01 November 2024 | 01:59

Komandan IRGC: Serangan Balasan Iran Melampaui Ekspektasi Israel

Jumat, 01 November 2024 | 12:04

Hizbullah Bombardir Pangkalan Militer Israel Pakai Rudal, Sirine Berdengung Kencang

Sabtu, 02 November 2024 | 18:04

UPDATE

Tiga Hakim PN Surabaya Tersangka Dugaan Suap Diperiksa di Kejagung

Selasa, 05 November 2024 | 14:04

Beberapa Jam Sebelum Pilpres AS, Korut Luncurkan Rudal Balistik ke Laut Timur

Selasa, 05 November 2024 | 13:58

Pembiayaan Hijau Jadi Kunci Percepatan SDGs

Selasa, 05 November 2024 | 13:58

Dipimpin Titiek Soeharto, Komisi IV DPR Rapat Bareng Kementan

Selasa, 05 November 2024 | 13:57

Cegah Pelanggaran Etik, DKPP Rakor Bareng 622 Penyelenggara Pemilu

Selasa, 05 November 2024 | 13:53

Susun Prolegnas 2025-2029, Baleg DPR Bahas Revisi UU Hak Cipta

Selasa, 05 November 2024 | 13:51

BPOM Sita Puluhan Ribu Kemasan Latio Imbas Kasus Keracunan

Selasa, 05 November 2024 | 13:45

Laporan Dugaan Gratifikasi Private Jet Kaesang Masih Berproses di KPK

Selasa, 05 November 2024 | 13:36

DKPP Terima 584 Pengaduan Pilkada, Terbanyak di Sumut

Selasa, 05 November 2024 | 13:35

Masih Sakit, Megawati Belum Bisa Bertemu Prabowo

Selasa, 05 November 2024 | 13:20

Selengkapnya