BURON berkeluarga, pasti pulang lalu ditangkap polisi. Isi buku Alice Goffman berjudul “On the Run: Fugitive Life in an American City” (2015). Begitulah tersangka penipu Malang, Jatim, Fitra Ardhita Nurullisha, 31, yang kabur ke Jakarta, ditangkap di Blimbing, Malang.
Penangkapan di sebuah hotel di kawasan Blimbing, Malang, kata Kapolresta Malang Kota, Kombes Budi Hermanto di konferensi pers di Mapolresta Malang, Senin (26/6).
Karena, Fitra punya istri dan anak. Yang ternyata, istrinya tidak tahu bahwa Fitra menipu total Rp 69,7 miliar, dan kabur sehingga jadi buron polisi. Pihak keluarga Fitra malah melapor ke polisi, bahwa Fitra hilang sejak berangkat kerja, Senin, 27 Maret 2023.
Kepada polisi, Fitra mengaku selama tiga bulan pelariannya, ia berada di Jakarta. Berpindah-pindah hotel. Dengan uang yang diduga hasil penipuan itu. Ketika ia ditangkap polisi di hotel di Blimbing, uang puluhan miliar itu tersisa Rp 7 juta, disita polisi sebagai barang bukti hukum.
Kombes Budi Hermanto menjelaskan kronologi perkara.
Awal Januari 2023 tersangka menawarkan kepada publik via medsos, ia bisa mendatangkan handphone, laptop dan motor gede dari luar negeri. Harga barang-barang itu, katanya, jauh di bawah harga pasaran di Indonesia.
Tapi ia tak punya modal. Padahal, ia punya calon pembeli, yakni toko-toko yang sudah menyatakan minat, siap untuk membeli barang-barang. Maka, ia menawarkan masyarakat berinvestasi padanya.
Fitra menjanjikan keuntungan buat investor antara 4,2 persen sampai 5,3 persen. Tergantung besaran investasi dan jenis barang yang akan dibeli. Modal dan keuntungan akan dikembalikan Fitra kepada investor dalam tempo sebulan.
Investasi itu seperti pinjaman dengan bunga segitu, per bulan. Bandingkan dengan suku bunga deposito perbankan sekarang berkisar 2,5 sampai 2,9 persen per tahun. Tentu, tawaran investasi itu sangat menarik. Atau sekitar dua puluh kali lipat dibanding bunga deposito.
Lambat tapi pasti, masyarakat menyetorkan uang ke Fitra. Ternyata Fitra memutarkan uang investor untuk bisnis. Belum diungkap polisi, apa bisnis Fitra.
Berdasar pengakuan Fitra ke polisi, pemutaran uang investor itu sambil menunggu kedatangan barang-barang yang dipesan dari luar negeri. Yang katanya berharga murah itu. Yang bisa jadi, barang selundupan atau illegal.
Kombes Budi: "Pengakuan tersangka, uang itu digunakan tersangka untuk diputar kembali, untuk memberikan keuntungan kepada orang-orang yang duluan berinvestasi kepada tersangka.”
Setelah uang masyarakat terkumpul Rp 69,7 miliar, dan waktu terus bergulir, Fitra mulai panik. Karena perputaran uang tidak seperti yang ia bayangkan. Sementara, barang-barang dari luar negeri, katanya kepada polisi, macet di pelabuhan.
Logika sederhana, barang impor dengan harga jauh di bawah harga pasar Indonesia, pastinya barang illegal. Dan, barang ilegal pasti juga tidak bakal lolos dari pelabuhan.
Akhirnya Fitra kabur. Membawa duit investor. Ia ngumpet berpindah-pindah dari hotel ke hotel di Jakarta. Diburu polisi.
Merujuk buku Alice Goffman, semua penjahat buron yang punya keluarga, suatu saat pasti akan pulang. Minimal, berada di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal keluarganya.
Itulah Fitra. Kini ia dijerat dengan Pasal 372 KUHP dan Pasal 378 KUHP, penipuan, ancaman hukuman lima tahun penjara.
Penangkapan Fitra menandakan polisi berupaya keras mengejar buron ini. Pengejaran buron yang sukses (dengan penangkapan tersangka) mengurangi niat calon penjahat berbuat kejahatan.
Tiga kriminolog Amerika Serikat (AS), Robert J. Sampson, John H. Laub and Elaine P. Eggleston dalam karya hasil riset mereka bertajuk “On the Robustness and Validity of Groups” (2004) memaparkan hasil riset, bahwa hukuman penjara, betapa pun beratnya bahkan sampai hukuman mati, tidak menimbulkan deterrent effect (efek jera).
Itu sebab, banyak residivis. Penjahat yang pernah dihukum penjara, melakukan kejahatan lagi. Baik bentuk kejahatan yang sama dengan saat ia dihukum dulu, maupun kejahatan bentuk berbeda.
Tapi, keniscayaan bahwa semua penjahat pasti akan ditangkap polisi, adalah efek jera paling efektif. Artinya, dengan adanya kepastian semua penjahat bakal ditangkap polisi, berdampak positif buat Kamtibmas. Calon penjahat bakal takut melakukan kejahatan. Kejahatan bakal berkurang.
Hasil riset di buku itu, bahwa mayoritas penjahat yang diteliti, paling takut sebelum ia ditangkap polisi. Lantas, hukuman penjara yang singkat hingga sedang (tidak disebutkan kisaran lama hukuman) menjadi pencegah yang bersangkutan berbuat jahat pada masa mendatang. Juga menakutkan bagi calon penjahat.
Sedangkan, hukuman penjara yang lama bagi penjahat, hanya menghasilkan efek pencegahan yang terbatas.
Selain itu, hukuman penjara yang lama bagi penjahat juga meningkatkan biaya yang dikeluarkan negara untuk memberi makan penjahat serta infrastruktur dan fasilitas penjara.
Buku itu menyatakan: “Pemolisian yang efektif yang mengarah pada sanksi yang cepat dan pasti (tetapi tidak harus dengan hukuman berat) adalah pencegah yang lebih baik daripada ancaman pemenjaraan yang lama.”
Buku itu ditimpali buku karya kriminolog Prof Daniel S. Nagin bertajuk "Deterrence in the Twenty-First Century" (2013) menyatakan, bahwa puncak usia seseorang jadi penjahat adalah usia 35. Setelah melewati usia itu, niat kejahatan turun secara lambat tapi pasti.
Proses penurunan niat penjahat berbuat kejahatan itu disebabkan berbagai hal. Antara lain, kedewasaan, pertimbangan penjahat terhadap dampak keluarga, kepastian hidup bebas tanpa dipenjara.
Apalagi, bagi mantan penjahat yang pernah dihukum. Ia sudah menghabiskan hidupnya dalam keterbatasan penjara. Sehingga niatnya berbuat jahat, turun. Kecuali buat penjahat yang punya kelainan jiwa.
Disebutkan, usia seseorang adalah faktor kuat dalam mencegah kejahatan. Bahkan, penjahat yang pernah melakukan kejahatan dengan tingkat tertinggi, mulai mengubah perilaku kriminal mereka, seiring bertambahnya usia.
Pada kasus tersangka Fitra, dengan kepastian polisi menangkapnya, berdasar teori tiga kriminolog di atas, bakal efektif mencegah kejahatan, atau meningkatkan Kamtibmas.
Dari sudut usia Fitra yang 31, merujuk teori Prof Nagin, tersangka berada pada puncak berbuat jahat. Tapi ia pada tahap menuju penurunan minat berbuat jahat.
Maka, polisi wajib berjuang keras memastikan semua penjahat bisa ditangkap. Tak peduli berapa pun besaran hukuman buat mereka.
Karena, selain besaran hukuman tergantung pada vonis hakim, juga terpenting adalah kepastian menangkap. Itu saja.
Penulis adalah wartawan senior