DALAM 10 tahun terjadi penambahan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 91,95 juta jiwa periode 1990-2020. Bertambahnya jumlah penduduk membuat kebutuhan akan tempat tinggal, tempat bekerja, dan berbagai keperluan yang lainnya sudah dapat dipastikan meningkat.
Persoalan yang terjadi ketika jumlah penduduk meningkat, sedangkan luas wilayah relatif tetap dan penduduk migran ke luar negeri tidak banyak, maka yang terjadi adalah luas lahan hutan berkurang untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam mencari nafkah.
Luas lahan hutan di Indonesia semula sebesar 118,5 juta hektar tahun 1990 berdasarkan data FAO, kemudian luas lahan hutan berkurang menjadi 92,13 juta hektar per tahun 2020. Penurunan luas lahan hutan tersebut tercatat sebesar 26,37 hektar selama 10 tahun.
Persoalannya kemudian adalah pengukuran gas buang (emisi netto) karbon dioksida dari lahan hutan berkurang dari 0,72 juta kt tahun 1990 menjadi 0,22 juta kt tahun 2020 di Indonesia. Sebagaimana telah banyak terpublikasikan tentang dampak buruk dari perubahan iklim, yang antara lain disebabkan oleh perubahan gas buang, maka luas lahan hutan di Indonesia dan negara lain yang berkurang dijadikan sasaran atas instrumentasi pengendalian perubahan iklim oleh negara-negara maju, khususnya melalui undang-undang Uni Eropa yang bermaksud untuk menekan dampak negatif terhadap pemburukan perubahan iklim.
Di samping penggunaan keberadaan perdagangan karbon sebagai insentif lunak instrumentasi dari membangun kelestarian hutan, parlemen Uni Eropa bertindak lebih jauh berupa segera memberlakukan hambatan non tarif perdagangan ekspor dari Indonesia, khususnya ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Fenomena CPO sebagai sumber devisa non migas yang mempunyai kontribusi sangat penting untuk Indonesia, namun ekspansi tanaman sawit selain untuk memproduksi ekspor CPO, penghasil bio solar, dan produk turunan dari CPO, kemudian antara lain telah menimbulkan dampak buruk berupa penurunan luas lahan hutan tersebut di atas.
Dewasa ini dampak buruk atas perubahan iklim berupa gelombang panas tinggi telah terasa penting terjadi bukan hanya terjadi di India, Bangladesh, China, Jepang, Laos, Korea, Myanmar, dan Thailand. Gelombang panas juga sebelumnya telah terjadi di Inggris, Jerman, Portugal, Prancis, Belgia, Belanda, Spanyol, Yunani, dan Italia. Gelombang panas tinggi juga diikuti peningkatan luas lahan kebakaran hutan.
Sebenarnya negara-negara maju telah lebih dahulu memanfaatkan lahan hutan, namun mereka juga lebih dahulu memelihara kelestarian hutan secara lebih ketat dibandingkan Indonesia.
Namun, gas buang dari polusi pabrik-pabrik dan sarana transportasi telah lebih dahulu dipraktekkan di negara maju dan sudah diberlakukan penurunan gas buang, namun pemberlakuan undang-undang yang mengatur deforestasi itu berdampak buruk terhadap ekonomi ekspor non migas Indonesia.
Penulis adalah peneliti Indef, yang juga pengajar Universitas Mercu Buana