Brigjen TNI Nugraha Gumilar (batik biru) berfoto bersama dengan rekan seangkatan Lemhannas RI - PPSA.XXI/Ist
Setiap orang memiliki jalan menuju suksesnya masing-masing, begitu pun kiat untuk meraih kesuksesan. Begitun, soal definisi sukses yang setiap orang juga mengartikannya dengan cara berbeda-beda.
Bagi mantan Komandan Poltekad Kodiklatad Brigjen TNI Dr. Nugraha Gumilar, sukses adalah tidak pernah menyerah akan kegagalan. Kesuksesan, katanya, bukan berarti harus lolos dari ujian tetapi saat menemui kegagalan memutuskan untuk tidak menyerah.
“Jadi itu prinsip mendiang bapak saya. Jujur dan berusaha sebaik mungkin, jika ada masalah pasti nanti Tuhan akan menolong lewat orang-orang di sekitar kita,” ujar Brigjen Gumilar di sela-sela acara peluncuran bukunya berjudul “Anak Yatim Jadi Jenderal: Tragedi Pesawat Nurtanio” di Jakarta, Sabtu (24/6).
Melalui buku yang dia luncurkan itu, Brigjen Gumilar berharap bukunya bisa memberikan inspirasi khususnya kepada kaum muda untuk bekal menghadapi tantangan ke depan yang makin kompleks.
Dalam bukunya “Anak Yatim Jadi Jenderal: Tragedi Pesawat Nurtanio”, Brigjen Gumilar berbagi kisah hidupnya sejak lahir, ditinggal ayahnya, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi dewasa berintegritas, kisah kasih dengan pendamping hidupnya, hingga sukses menyandang pangkat jenderal bintang satu.
Selain kisah hidup yang terbagi dalam 17 bab, buku setebal 183 halaman yang ditulis oleh Andhini ini juga memuat 17 testimoni tentang pribadi Brigjen Gumilar.
Sosok Brigjen Gumilar adalah anak bungsu dari 7 bersaudara, yang lahir tanggal 23 Januari 1968 di Bandung, Jawa Barat.
Gumilar sudah mengalami perjalanan panjang dalam hidupnya. Dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain. Namun, di saat itu pula ia selalu mendapatkan pertolongan Tuhan.
Tertempa hidup yang keras sejak kecil, membuat Gumilar lebih memilih menjalani hidup sederhana meski saat ini berkecukupan. Mapan secara karir dan ekonomi, menyandang bintang satu dan gelar S3.
“Saat tentara pangkat letnan, ketika ekonomi sulit saya bisa makan cuma nasi dan telor ceplok pakai kecap dan bawang merah. Saya pikir makan mewah atau sederhana yang keluar di belakang kan sama juga kotornya. Bau juga kenapa harus makan enak?” katanya.
Di samping kejujuran, bekerja keras, tidak mempunyai utang juga ia ajarkan kepada anak-anaknya.
“Mungkin karena saya tidak berbisnis ya, jadi tidak perlu berutang. Kalau pebisnis mungkin harus utang untuk modal usaha,” ujarnya.
Terakhir, ia kembali mengingatkan bahwa di dalam hidup kita ada orang-orang di sekitar yang membantu berkat tangan Tuhan.
“Saya bisa jadi jenderal juga karena banyak menerima bantuan, bukan karena hebat. Hidup itu harus bermasyarakat, banyak membantu orang lain,” pungkasnya.