Kelompok ekstremis bersenjata di Mali membunuh satu penjaga perdamaian PBB dan melukai delapan lainnya di wilayah utara Timbuktu, pada Jumat (9/6) waktu setempat.
Berdasarkan laporan dari juru bicara PBB, Stephane Dujarric, serangan terjadi ketika kelompok tersebut sengaja menargetkan patroli keamanan dari penjaga perdamaian PBB.
"Para penyerang menggunakan alat peledak rakitan dalam serangannya, yang diikuti dengan tembakan langsung di wilayah itu," ujarnya.
Kepala misi penjaga perdamaian PBB di Mali, El-Ghassim Wane, dan PBB secara keseluruhan mengutuk keras serangan terbaru ini, yang telah meningkatkan kekhawatiran organisasi tersebut.
"Kehilangan yang tragis ini adalah pengingat nyata akan risiko yang dihadapi oleh pasukan penjaga perdamaian di Mali dan di tempat lain di seluruh dunia ketika mereka bekerja tanpa henti untuk membawa stabilitas dan perdamaian bagi rakyat Mali," kata Dujarric, seraya menambahkan kematian terbaru dari anggota PBB itu menjadi kematian yang kesembilan di Mali sepanjang tahun ini.
Seperti dimuat
Fox News, Sabtu (10/6), sejak kudeta pada 2020, Mali berada di bawah pemerintahan junta militer, setelah mereka menggulingkan presiden terpilih, Ibrahim Boubacar Keita.
Sejak saat itu, kekerasan semakin meningkat di negara itu. Serangan destabilisasi yang diluncurkan oleh kelompok ekstremis bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda dan ISIS, membuat beberapa negara mengerahkan pasukannya untuk membantu Mali.
Pada 2021, pasukan Prancis dan mitra Eropa segera menarik diri dari negara tersebut, karena junta militer mengerahkan tentara bayaran dari Grup Wagner Rusia.
Sementara, saat ini PBB yang telah mengerahkan ribuan pasukan perdamaiannya ke Mali akan menyelesaikan misi dari mandatnya yang berakhir pada 30 Juni mendatang.