Presiden pertama RI, Soekarno, pernah mendapat tiga medali dari Kepausan Vatikan hanya dalam kurun waktu 8 tahun. Menariknya, tiga medali itu ia dapatkan dari tiga Paus Vatikan yang berbeda.
Ini artinya, perjuangan Bung Karno dalam gagasan kemanusiaan dan keadilan sosial tidak perlu diragukan lagi.
Fakta menarik ini terungkap dalam Podcast "Bung Karno Series" Episode 7 bersama jurnalis senior Trias Kuncahyono yang tayang dalam rangkaian Bulan Bung Karno di kanal YouTube Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan dan dipandu presenter Yustin Sila.
“Perjuangan Bung Karno dengan para Paus atau pemimpin di Vatikan itu sama, yakni memperjuangkan kemanusiaan, sehingga medali ini bisa dianggap sebagai apresiasi serta rasa cinta dan persaudaraan umat Katolik dunia pada Indonesia,” kata Trias, seperti dikutip Redaksi, Jumat (9/6).
Pria berkelahiran Yogyakarta itu berkisah, Bung Karno mendapat ruh kemanusiaan dan keadilan sosial Pancasila saat diasingkan Belanda di Ende pada 1934. Kota kecil Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu mayoritas masyarakatnya merupakan pemeluk Katolik.
Karena itu, selama 4 tahun di Ende, Bung Karno dekat dengan para pastor dan biarawati dari Biara Santo Yosef.
“Di Ende, Bung Karno tidak hanya mengenal Katolik, tapi di situlah beliau mengalami transformasi dari seorang politisi menjadi negarawan,” ungkap penulis buku "Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir" itu.
Trias menjabarkan, untuk mengisi waktu luang di Ende, Bung Karno membaca ensiklik atau surat edaran Paus Leo XIII, yang berjudul "Rerum Novarum". Ensiklik yang terbit pada 1891 tersebut merupakan surat terbuka kepada semua uskup membahas kondisi kelas pekerja, sekaligus menanggapi perkembangan dan revolusi industri yang menyebabkan muncul banyak pabrik.
“Saat itu, pabrik banyak menyerap tenaga kerja, tetapi mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan buruhnya,” terang Trias.
Tak hanya itu, Bung Karno juga tercerahkan kala membaca Ensiklik berjudul "Quadragesimo Anno" yang dikeluarkan Paus Pius XI pada 1931. Ensiklik ini memperingati 40 tahun Ensiklik "Rerum Novarum" yang menegaskan tentang arti penting hak milik dan keadilan sosial.
Melalui pemahaman tentang hak milik yang bernilai sosial itulah, Soekarno mendapat inspirasi untuk kemudian menjadi dasar Sila Kelima Pancasila pada Pidato Pancasila 1 Juni 1945.
“Dari hak-hak sipil dan kaum buruh pada Surat Edaran Paus itulah menjadi keadilan sosial yang inklusif bagi semua golongan,” kata Trias.
Mantan Wakil Pemimpin Redaksi
Harian Kompas ini mengungkapkan, kita perlu pemimpin inklusif yang mengedepankan kesamaan daripada perbedaan yang rentan menimbulkan gesekan di antara anak bangsa.
“Sejak awal Indonesia merupakan negara plural, majemuk, dan heterogen. Lihat saja pada Kongres Pemuda 1928 saat para pemuda mampu menyingkirkan kepentingan golongan, agama, dan suku demi Indonesia yang satu,” urainya.
Vatikan sendiri merupakan negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 6 Juli 1947.
“Berkat Uskup Albertus Sugiyopranoto, Indonesia menjalin hubungan bilateral dengan Vatikan dua tahun setelah kita merdeka. Kedekatan kedua negara terus terjalin hingga 1950 memiliki kedutaan besar,” papar Trias.
Dituturkan Trias, pada 1947, Vatikan mendirikan sebuah Delegasi Apostolik di Indonesia. Kemudian, pada 16 Maret 1950, Vatikan meresmikan Internunsiatur Apostolik yang statusnya menjadi Nunsiatur Apostolik pada 7 Desember 1966. Sampai sekarang, hubungan diplomatik kedua negara masih terjalin baik.
Dari situlah pantauan Dubes Vatikan tentang eksistensi Pancasila di Indonesia yang melindungi semua agama membuat Bung Karno kemudian mendapat penghargaan berupa medali tertinggi pada tiga kali kunjungannya ke Vatikan.
Yaitu medali Grand Cross of the Pian Order pada 13 Juni 1956 dari Paus Pius XII, pada 14 Mei 1959 dari Paus Yohanes XXIII, dan pada 12 Oktober 1964 dari Paus Paulus VI. Istimewanya, pada kunjungan ketiganya, Bung Karno dibuatkan perangko khusus dari Vatikan serta mendapat cenderamata dari Paus Paulus VI berupa lukisan mosaik Castel San Angelo Vatikan.
Kepada anak-anak muda, Trias mengingatkan ungkapan filsuf Romawi Marcus Tullius Cicero,
Historia est Magistra Vitae yang berarti "Sejarah adalah Guru Kehidupan".
Trias berpesan, “Untuk generasi muda Indonesia, cintailah sejarah bangsa ini. Kalau tidak mengenal sejarah bangsa, Pancasila, dan perjuangan pendiri negeri, bagaimana kita bisa mencintainya?”