PRAKTIK stem cell mulai dapat jalan keluar di Indonesia. Yang menerobos kebuntuan itu siapa lagi kalau bukan: Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Maret lalu menkes mengeluarkan surat. Yang dituju adalah enam kolegium kedokteran. Isinya: agar para kolegium itu membuat pedoman tata laksana praktik stem cell di Indonesia.
Perang wisata kesehatan memang menjadi antar negara. Wisata kesehatan dijadikan salah satu senjata untuk kebangkitan ekonomi sebuah negara.
Selasa lalu saya bertemu rombongan dokter dari Taiwan. Lebih 10 orang. Dari berbagai spesialisasi. Termasuk ahli transplantasi. Disertai juga pimpinan rumah sakit di sana.
Intinya: promosi.
Menggaet pasien dari Indonesia.
Wisata pengobatan memang bisnis yang sangat besar. Banyak negara promosi diri di keunggulan masing-masing.
Saya pun ingat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Yang punya proyek membangun rumah sakit vertikal di empat kota besar. Untuk membendung arus berobat ke luar negeri. Termasuk membangun RS Internasional di Sanur, Bali, yang akhir tahun ini sudah bisa beroperasi. Yakni di lokasi hotel dan lapangan golf Bali Beach milik BUMN itu.
Langkah terbaru menkes Maret lalu itu adalah untuk memberikan kelonggaran perizinan berbagai macam praktik kedokteran non-konvensional.
Misalnya: stem cell dan sebangsanya.
Bayi tabung dan kehamilan.
Bedah plastik dan kosmetik.
Semua praktik kedokteran non-konvensional itu sebenarnya sudah menjamur. Tapi legalitasnya ketinggalan. Antara lain karena terjadi penentangan di kalangan internal dokter.
Akibatnya ilmu di bidang-bidang itu kurang berkembang di Indonesia.
Buntutnya: pasien Indonesia berbondong-bondong ke luar negeri. Sebagian memang ada yang menjalaninya di dalam negeri sambil setengah kucing-kucingan –tidak peduli warna kucingnya.
Terbitnya surat menteri kesehatan Maret lalu itu setidaknya ada langkah maju. Tidak lagi berhenti di tempat.
Kalau enam kolegium tersebut sudah berhasil membuat pedoman tata laksana stem cell, pedoman itulah yang akan dijadikan dasar perizinan praktik stem cell di Indonesia kelak.
Kelak.
Belum tahu kapan.
Surat menkes itu tidak mencantumkan batas waktu.
Juga tidak mencantumkan sanksi.
Enam kolegium itu adalah dermatologi/venerologi, neurologi, pulmonologi/respirasi, bedah mulut/maksilofasial, penyakit dalam, obstetri-ginekologi.
Saya bisa membayangkan betapa sibuk masing-masing kolegium itu dalam mempersiapkan pedoman untuk stem cell. Apalagi kesibukan baru itu tidak langsung menyangkut kepentingan kolegium. Ibaratnya mereka harus bekerja untuk kepentingan dokter ahli stem cell.
Mungkin akan terjadi benturan. Misalnya dengan ahli stem cell yang akan fokus menerima pasien kanker tertentu. Sebangsa kanker payudara atau paru. Disebut juga kanker padat. Bukan sejenis kanker darah. Maka akan terjadi benturan antara ahli stem cell dengan ahli kanker.
Benturan seperti itu tidak akan terjadi kalau ahli stem cell-nya berasal dari ahli kanker. Tapi banyak ahli stem cell yang bukan berasal dari salah satu keahlian di enam kolegium itu.
Mungkin kolegium, lembaga di bawah IDI, bisa menemukan jalan keluar. Agar mereka bisa cepat membuat pedoman: ahli stem cell harus menggandeng ahli lainya. Misalnya ahli stem cell yang akan melakukan terapi T-cell (untuk kanker padat) harus menggandeng ahli kanker dalam timnya.
Hal serupa akan dihadapi bedah plastik. Misalnya bedah plastik untuk vagina. Kolegium obgyn mungkin akan membuat pedoman harus ada ahli obgyn di situ.
Mungkin masih akan ruwet. Tapi setidaknya kini sudah mulai ada titik terang bagaimana cara melegalkan praktik kedokteran non-konvensional. Yakni berdasar pedoman tata pelaksanaannya. Yang membuat pun kalangan dokter sendiri.
Tinggal kapan bisa dibuat. Dan apalah bisa dibuat. Apalagi oleh begitu banyak kolegium.