PENENTUAN calon wakil presiden (cawapres) menjadi variabel paling menentukan dalam Pilpres 2024 mendatang. Penyebabnya adalah karena dalam beberapa temuan survei hanya terdapat tiga nama calon presiden (capres) kuat dan kompetitif dengan selisih elektabilitas yang tipis. Yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto. dan Anies Baswedan.
Elektabilitas ketiga tokoh ini di berbagai lembaga survei bersaing sangat ketat dan saling salip menyalip, sehingga membuat posisi cawapres akan menjadi kunci pemenangan pemilu mendatang.
Tidak ada capres yang leading sendiri jauh di atas angka psikologis 30 persen, sebagai capres pemenang tanpa lawan tanding, masih relatif dalam rentang range margin of error. Dengan demikian, maka cawapres lah menjadi kunci kemenangan.
Dinamika elektoralnya tidak terlalu terpaut jauh, bahkan pernah Prabowo menyalip Ganjar, Anies pernah menyalip Prabowo, dan Anies pernah menyalip Ganjar dan Prabowo, dan seterusnya.
Memastikan posisi cawapres mampu mengenjot elektabilitas capresnya. Dengan kata lain, cawapres berfungsi sebagai doping politik, salah menggandeng cawapres bisa menjadi blunder yang mematikan langkah politik capres.
Maka tak heran, parpol koalisi sengaja menyimpan nama cawapres. Sejauh ini parpol koalisi tidak akan mau terburu buru mengumumkan cawapresnya, caranya mengunci nama cawapres, sebab cawapres harus dipastikan kontributif terhadap capresnya, menjadi bagian dari desain adu strategi politik.
Kenapa penting bagi parpol koalisi meracik cawapres ideal potensial pendamping capres? Sebab kalau salah maka bisa bunuh diri politik.
Keliru dan salah mengandeng capres berpotensi mengerus elektabilitas capresnya. Dalam situasi ini, jika capres memilih cawapres yang tidak tepat, bisa jadi perolehan suara tidak akan mengalami peningkatan yang signifikan. Bisa saja tidak terjadi tren pertumbuhan elektoral secara signifikan.
Ada dua model cawapres. Yakni cawapres yang berhasil mentracing capres sehingga mendapatkan tambahan yang kontributif mengenjot elektabilitas capresnya, atau justru dukungan modal elektoral yang sudah ada pada capres malah kian tergerus.
Setidaknya terdapat 3 kriteria penting dalam penentuan cawapres. Pertama, modal elektabilitas (racikan elektoral). Kedua, dukungan partai politik. Ketiga, ketersediaan isi tas (modal logistik kampanye), sebab biaya pilpres
high cost.
Cawapres pun harus mendapat dukungan partai politik. Dalam pemilihan presiden, partai politik memiliki peran penting dalam memperoleh suara dan mendapatkan dukungan dari anggota partai. Oleh karena itu, memilih calon wakil presiden yang berasal dari partai politik yang memiliki basis dukungan yang kuat dapat membantu pasangan calon presiden memperoleh suara dari basis partai tersebut. Mengamankan basis dukungan.
Cawapres yang memiliki pengaruh politik yang kuat dan berasal dari daerah yang memiliki potensi elektoral besar dapat memberikan keuntungan bagi pasangan capres. Hal ini karena calon wakil presiden yang berasal dari daerah tersebut memiliki kecenderungan untuk mendapatkan dukungan dan memperluas dari basis pemilih di wilayah tersebut.
Selain itu, calon wakil presiden yang memiliki basis elektoral yang kuat atau memiliki jaringan politik yang luas dapat membantu pasangan calon untuk memenangkan dukungan dari partai politik atau koalisi politik yang sebelumnya tidak mendukung. Pada akhirnya akan mempengaruhi format koalisi dan partai partai politik yang tergabung dalam koalisi untuk membentuk koalisi yang stabil dan solid.
Memilih cawapres yang dapat menjaga stabilitas politik dan meredam potensi konflik di dalam pemerintahan dapat memberikan keyakinan kepada pemilih bahwa pasangan tersebut mampu menghadapi tantangan dan dinamika politik dengan baik. Salah satu contoh, bagaimana JK sebagai wapres waktu itu bisa menarik Golkar ke gerbong koalisi pemerintah, sehingga tercipta stabilitas politik dalam koalisi.
Namun alasan capres digandeng ada kebutuhan lain, tergantung kebutuhan user capresnya. Seperti pertama, representasi basis segmen pemilih yang tidak beririsan alias tidak sama dengan capresnya.
Kedua, irisan representasi wilayah misalnya Jawa-Non Jawa. Menjaga keseimbangan regional dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman regional, memilih calon Wakil Presiden dari wilayah yang berbeda dengan calon presiden dapat membantu menjaga keseimbangan dukungan dari berbagai daerah.
Ketiga, kebutuhan cawapres dalam konteks blok ideologis, cawapres digandeng ada kebutuhan lain karena mengentalnya blok ideologis polarisasi isu dan menguatkan politik identitas sehingga muncul capres cawapres representasi kombinasi nasionalis-religius dalam kasus Jokowi-Maruf. Model cawapres kebutuhan lain misalnya sipil-militer, cawapres dari kluster kepala daerah, dari menteri dan dari ketum partai.
Keempat, cawapres representasi kebutuhan pemilih Gen Z dan Milenial. Sebab bagaimanapun generasi milenial cukup besar dan potensial pemilihnya, bahkan mendekati angka 60 persen. Pemilih ini masuk pada kategorisasi pemilih rasional dan psikologis, memperhatikan rekam jejak kandidat, kompetensi, kapasitas, integritas dan jam terbang serta pengalaman dari capres-cawapresnya. Jadi harus hati-hati juga dengan perilaku memilih (voting behavior) kelompok cluster ini.
Gen Z dan milenial termasuk pemilih yang kritis yang naik kelas menjadi pemilih rasional dan psikologis, sehingga penting juga cawapres mempertimbangkan track record. Mempengaruhi persepsi publik, dengan memilih wakil presiden yang memiliki citra politik yang baik dan bersih akan lebih mudah diterima oleh pemilih kritis Gen Z dan pemilih milenial dan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pasangan calon presiden.
Saya mencermati, tampaknya ada desain untuk membisikkan cawapres yang salah kepada capres. Skenario pembusukkan dari dalam, membisikkan cawapres yang salah kepada king maker atau veto players dalam hal konteks menggandeng cawapres, sehingga semakin menyulitkan kans kemenangan.
Penentuan posisi cawapres ideal, tak bisa reaksioner, egois. Kalau sekedar untuk mendaftar ke KPU, ambil saja ketum partai menjadi cawapres. Namun harus berhati-hati betul menentukan cawapres yang tepat, perlu kalkulasi dan hitung-hitungan secara matang, dengan ukuran matematika politik yang terukur, jangan sampai salah menghitung. Selain memang tingkat akseptabilitas cawapres penting, baik penerimaan parpol koalisi, king maker, maupun penerimaan basis grassroot itu sendiri.
Daya rekat koalisi capres-cawapres kita sangat transaksional pragmatis bukan ideologis, yang saya khawatirkan, posisi penentuan cawapres di dalam koalisi dengan pendekatan politik last minute atau injury time juga punya resiko, membuat guncangan koalisi, rawan, semen basis koalisi berbasiskan siapa cawapres yang akan digandeng di internal koalisi, sehingga koalisi gampang mengalami patahan di tengah jalan atau bubar.
Oleh karena itu, capres-cawapres yang terpenting paket komplementer, saling melengkapi, cawapres yang memiliki keahlian dan pengalaman yang komplementer dengan calon presiden dapat memberikan keuntungan tambahan dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan jika terpilih.
Dengan tetap mempertimbangkan variabel elektabilitas, wilayah, logistik, partai, kombinasi latar belakang, representasi figur dan lain lain, cawapres yang mampu menopang kemenangan (the winning coalition). Kebutuhan cawapres untuk membantu mendulang elektoral kemenangan dan termasuk kebutuhan untuk stabilitas koalisi itu sendiri.
Oleh karena itu, Pilpres 2024 gelanggang datar, tanpa incumbent. Maka kunci kemenangan pilpres bukan pada capres tapi sejauh mana piawai menggandeng cawapres yang mengantarkan kemenangan. Sekali lagi, kunci kemenangan adalah cawapresnya
Chemistry capres-cawapres juga penting menjadi perhatian, jangan sampai matahari kembar seperti SBY-JK tempo dulu. Apalagi pada periode kedua ada potensi persaingan elektoral antara capres dengan cawapresnya untuk merebut RI-1 pada periode kedua masa jabatan.
Penulis adalah Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting