MENGAWALI pemerintahan periode kedua tahun 2019 Presiden Jokowi pernah mengatakan ia tidak punya beban lagi selain bertekad bekerja sebaik-baiknya.
Jika masyarakat riuh dan gaduh belakangan ini menyorot manuver Presiden Jokowi, itu semata lantaran pernyataannya berbanding terbalik dengan kenyataan.
Paling terbaru yang memantik suhu politik memanas di Tanah Air karena tampak terlibat cawe-cawe di dalam kesibukan parpol mengusung calon penggantinya. Persis seperti yang pernah dikatakan Charles de Gaulle, "Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya."
Judul Sama karena Obyek Sama Tulisan ini memang berjudul sama dengan yang pernah saya pergunakan untuk menulis obyek sama, terkait manuver Presiden Jokowi soal isu perpanjangan masa jabatannya dan penundaan Pemilu 2024 serta perubahan konstitusi menjadikan masa jabatan tiga priode.("
Ya, Ampun Presiden!" Catatan Ilham Bintang, 6 Maret 2022).
Awalnya ayah Gibran dan mertua Bobby Nasution ini menunjukkan sikap tersinggung. Dia menganggap pihak yang berwacana itu cuma "mau cari muka; mau menampar mukanya; atau menjerumuskannya."
Tetapi kemarahan itu kemudian surut dan pada fase berikutnya malah ikut "segendang sepenarian" dengan wacana yang membentur konstitusi. Tak heran jika mengamat asing menjulukinya "
Man of Contradictions".
Wacana sesat itu digelindingkan justru oleh anak buahnya sendiri. Menteri Bahlil Lahadalia dan Airlangga Hartarto, serta dua ketum parpol koalisi, Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zulkifli Hasan (PAN). Nama terakhir, malah diangkat sebagai Menteri Perdagangan setelah itu. Entah masuk golongan mana Zulkifli Hasan dari tiga kategori yang disebut Jokowi.
Setelah wacana itu menghadapi perlawanan keras masyarakat, lalu reda. Tapi belum mati. Ada pihak yang beranggapan usaha itu masih terus dilakukan secara terselubung.
Saat ini topik yang viral dibahas di mana-mana adalah keterlibatan Presiden Jokowi mengatur siapa bakal penggantinya. Seakan mau mengambil peran Tuhan mengatur nasib bangsa Indonesia agar yang menjadi presiden RI setelah dia, sebaik dia.
Lain situasi terkesan seakan Republik Indonesia perseroan terbatas. Dia CEO sekaligus pemilik perusahaan yang mau memastikan siapa bakal menggantinya. Maka, tak pelak suhu politik memanas dan gaduh mengamati manuvernya bersama para pemimpin parpol koalisi yang dia ikut terlibat di dalamnya.
Para pemimpin parpol itu sibuk saling beranjangsana memanfaatkan silaturahim lebaran. Berpelukan, bersalaman, seperti parade boneka Teletubbies mempertaruhkan nasib 270 juta rakyat Indonesia. Mantan Wapres Jusuf Kalla sampai mengingatkan cawe-cawe Presiden Jokowi itu tak seharusnya terjadi.
"Menurut saya, Presiden seharusnya seperti Ibu Mega, SBY, saat akan mengakhiri jabatannya tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratislah," kata JK kepada wartawan di kediamannya, Sabtu (6/5) malam.
JK menyampaikan saran tersebut setelah menerima curhat Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, yang kabarnya salah satu yang nyaris menjadi korban (dikorbankan) manuver cawe-cawe itu.
Luhut Binsar Panjaitan pun yang dikenal orang dalam Jokowi sendiri turut menyayangkan cawe-cawe tersebut. Itu dinyatakan LBP sewaktu bertemu Ketum Partai Nasdem Surya Paloh. Namun. seperti biasa Presiden Jokowi menanggapi ringan saja semua kritik itu.
"Apa yang salah? Saya pejabat publik sekaligus politisi," katanya.
Masalah yang memantik gaduh adalah pertemuannya dengan hanya 6 parpol koalisi di Istana. Minus Ketum Partai Nasdem.
Jokowi mengatakan pertemuan membicarakan kebijakan negara dan sekalian menyinggung tentang peta koalisi parpol menghadapi Pilpres 2024.
"Ada yang sifatnya membahas strategi koalisi parpol untuk Pilpres. Partai Nasdem sudah punya koalisi sendiri, sehingga tak patut untuk ikut diundang," katanya.
Tampaknya Presiden alpa. Terutama pada posisinya sebagai presiden yang harus netral. Ibarat seorang bapak, harus adil terhadap anak-anaknya.
Sebagai kepala negara tentu saja wajib melindungi dan bersikap adil terhadap seluruh warga negara. Yang sepaham maupun tidak. Itu pesan utama masyarakat merespons cawe-cawe Presiden Jokowi.
Dengan mengakui sengaja tidak mengundang Ketum Nasdem, di situlah titik bisulnya. Berbicara tentang kebijakan negara bukan hanya Nasdem wajib diundang, tetapi seluruh pimpinan parpol.
Berbicara tentang kompetisi parpol untuk pemilu, kepala negara berada di atas semua kompetitor. Mau koalisi pemerintah atau tidak. Apalagi Nasdem masih tercatat parpol koalisi pemerintah. Wajar jika Surya Paloh meradang.
"Apakah karena kami mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres, sehingga Nasdem tidak dihitung lagi? Apa salahnya mengusung Anies? Dia salah satu putra bangsa terbaik kita. Memangnya setelah tidak jadi Presiden, Jokowi tidak butuh kawan lagi?" ucap Surya Paloh tidak bisa menyembunyikan kekesalan.
"Presiden Jokowi harus sadar, bahwa salah satu faktor kepresidenannya bisa lahir adalah berkat sikap netral presiden sebelumnya. Ketika memberikan pesan 'Salam Dua Jari' untuk paslon Jokowi-JK, dengan bekas tinta di hari pencoblosan Pilpres 2014, saya mendapatkan teguran tertulis dari Presiden Keenam SBY. Presiden SBY meminta saya, sebagai Wamenkumham dan bagian dari kabinet, untuk bersikap netral, serta tidak menunjukkan dukungan partisan kepada paslon capres manapun," ungkap Prof Denny Indrayana dalam tulisan
Menggugat Etika Politik dan Netralitas Presiden Jokowi, (6 Mei 2023).
Izinkan untuk menutup tulisan ini, saya menggunakan penutup tulisan tahun lalu yang memang berjudul sama. Ya, ampun, Presiden!
Mungkin kita yang berekspektasi berlebihan memahami demokrasi. Rakyat juga keliru. Semua pihak yang memprotes presiden, menteri dan petinggi parpol yang dianggap menghianati konstitusi, mungkin tidak pada tempatnya jika berharap Presiden Jokowi etis dalam berdemokrasi dan menjunjung tinggi netralitas.
"Dalam politik, jika Anda ingin sesuatu dikatakan, tanyakan pada seorang pria; jika Anda ingin sesuatu dilakukan, mintalah pada seorang wanita," kata Margaret Thatcher.
Penulis adalah Wartawan Senior