GEGAP gempita pemilu 2024 sangat terasa. Politisi, aktivis, intelektual dan semua elemen dalam masyarakat cukup antusias menanti momentum pelimau 2024 itu.
Kekhawatiran atas pelaksanaan pemilu cukup bervariasi. Ada yang mengkhawatirkan pemilu tidak berjalan secara jujur dan adil, ada yang mengkhawatirkan kompetisi politik dipenuhi dengan intrik dan kemunafikan. Ada juga yang khawatir kehilangan kekuasaan.
Dari semua kekhawatiran itu, kekhawatiran yang cukup serius diperhatikan adalah kekhawatiran Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo Pangdam III Siliwangi.
Dalam tulisannya Etika Menuju 2024, Mayjen Kunto begitu khawatir akan keharmonisan masyarakat menuju pemilu 2024. Menurutnya menuju 2024 sudah mulai terjadi berbagai pertengkaran yang cukup alot antara pendukung bakal calon Presiden.
Sebagai pemimpin pasukan Mayjen Kunto mengerti situasi politik yang terjadi. Ada polarisasi politik yang tidak biasa bahkan melampaui perpecahan politik tahun 2019. Bahkan sejauh ini sudah mulai saling tuduh Diantara kelompok politik.
Situasi ini tentu akan membawa ketegangan politik yang cukup serius. Pertarungan tidak lagi didasarkan pada ide, gagasan dan prestasi, tetapi bergeser ke adu sentimen dan kebencian. Hal ini cukup mengkhawatirkan.
Apalagi sejauh ini terdapat ketimpangan politik antara calon. Ketimpangan yang dimaksud Ialah, calon tertentu mendapatkan dukungan kekuasaan, calon lain diupayakan untuk dijegal dan digagalkan.
Ini menjadi cikal bakal terjadinya Huru-hara politik dan ketidakpuasan massa. Karena menghadang lawan dengan instrumen kekuasaan adalah bentuk kecurangan.
Ketika terjadi kecurangan, kata Mayjen Kunto, penonton heboh atau bahkan membuat penonton menjadi resah dan tidak nyaman, maka “terapi” khusus harus diterapkan. Aturan hukum akan jadi acuan dan TNI siap tampil sebagai pengawal pada proses itu. Katanya.
Sepertinya gejala kecurangan sudah disadari oleh kalangan tentara. Saya sedari awal sudah berbicara di berbagai media bahwa pemilu 2024 bahwa tindakan curang dan tidak adil serta pelanggaran etika dan moral sedang dipertontonkan secara vurgar dalam rangka untuk “mengatur , mengedalikan dan menentukan Pemilu oleh kelompok pemegang kekuasaan, utamanya penyelenggara pemilu”.
Desain pemilu yang disusun oleh KPU menyimpang dari praktik pemilu sebelum-sebelumnya. Aturan-aturan Hukum yang tidak adil berupa Undang-undang dan aturan turunannya seperti PKPU tidak mencerminkan cara kerja sistem pemilu yang luber dan jurdil.
Pemilu 2024 memang cukup disebut pemilu yang kompleks dan tidak beraturan. Meskipun ada aturan UU-nya tetapi semua itu tidak adil. Seperti misalnya penetapan angka presidential threshold, dimana partai-partai politik peserta pemilu tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden.
Sistem yang tidak adil ini diperburuk lagi oleh mekanisme penyelenggara pemilu yang buruk. Misalnya, keberadaan Sistem Infromasi Partai Politik (Sipol) yang tidak memiliki payung hukum dalam Undang-undang maupun peraturan KPU saat mulai diberlakukan. Tetapi KPU Menggunakan sipol sesebagai instrumen pendaftaran dan verifikasi parpol.
Dalam proses pendaftaran Parpol, partai-partai tidak diwajibkan oleh aturan untuk mengisi sipol KPU. Tetapi KPU menggunakan sipol sebagai instrumen untuk utama untuk menentukan lolos tidaknya parpol peserta pemilu. Itulah yang dialami Partai Masyumi, Partai Perkasa dan partai-partai lain. Seluruh data dan Dukumen persyaratan untuk menjadi peserta pemilu tidak input ke Sipol melainkan di serahkan secara langsung dengan Soft file dan hard Copy . Data dan Dokumen partai-partai itu lengkap, tapi pada akhirnya tidak diloloskan.
Karena itu Kami partai-partai itu mengajukan Sengketa Proses ke Bawaslu RI dan Sampai pengadilan. Dan proses di Pengadilan Tata Usaha Negara sampai hari ini masih berlangsung. Mengharapkan Bawaslu untuk mengawasi potensi kecurangan sangat tidak mungkin.
Penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan pemilu yang jurdil itu. Karena itu kami membentuk gerakan politik sebagai bentuk protes kami dengan membentuk Gerakan Melawan Politik Genosida (GMPG), dengan tuntutan agar dilakukan audit forensik terhadap sistem IT dan Sipol KPU.
Setelah proses awal seperti pendaftaran terjadi berbagai dugaan kecurangan, dalam Proses verifikasi partai peserta pemilu terlihat makin semrawutnya pelaksanaan pemilu.
Bagi saya, verifikasi partai menjadi pra-kondisi dimana kompetitor (partai) politik sudah diatur. partai apa dan partai siapa yang akan lolos dan partai apa dan partai siapa yang tidak diloloskan sepertinya sudah diputuskan terlebih dahulu sebelum verifikasi di mulai.
Terbukti pengakuan KPU diberbagai daerah yang mendapatkan perintah untuk meloloskan Partai-partai tertentu dan tidak meloloskan partai-partai tertentu, meskipun DKPP sebagai penjaga etik penyelenggara pemilu tidak tegas menjatuhkan hukuman. DKPP sebagai penjaga etika sejauh ini tidak efektif dan tidak bisa diandalkan untuk menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran para penyelenggara pemilu.
Pengakuan serupa datang dari Hasnaeni. Partai Republik Satu yang dipimpinnya dinyatakan memenuhi syarat saat pendaftaran, dan itu menurut pengakuannya, karena ada hubungan khusus antara Hasnaeni dengan ketua KPU.
Proses untuk menentukan peserta sudah dimulai dengan kecurangan. Misalnya saja partai Ummat yang dinyatakan tidak lolos kemudian diloloskan kembali akibat adanya keributan setelah terbongkar upaya intervensi KPU Pusat. Begitu juga dengan Partai Prima yang kemudian oleh pengadilan dirugikan akibat keputusan KPU yang tidak meloloskannya.
Dengan mekanisme apa dan cara kerja yang bagaimana KPU menentukan lolos atau tidaknya partai politik? Sehingga dengan mudah orang diloloskan dan tidak diloloskan. Ini semua menimbulkan kecurigaan bahwa pemilu sedang diatur dengan cara-cara curang, sebagaimana laporan koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih ke Komisi 2 DPR-RI dan DKPP.
Jangan sepelekan juga pengakuan Hasnaeni ketua Partai Republik Satu yang mengatakan bahwa KPU akan memenangkan Ganjar-Erick dalam Pilpres 2024 nanti. Pengakuan Hasnaeni itu menjadi benar ketika DKPP memutuskan laporan beberapa orang termasuk Pemuda Madani. Laporan Pemuda Madani cs itu terbukti bahwa ada hubungan yang tidak biasa antara Hasyim Ketua KPU dan Hasnaeni. Setelah terbukti itu, seharusnya DKPP memutuskan Ketua KPU harus diberhentikan. Tapi putusan DKPP seakan-akan setengah hati menghukum penyelenggara.
informasi Hasnaeni tentang dugaan adanya rencana kecurangan saat pemilu seperti menentukan siapa capres yang akan dimenangkan itu dapat dikatakan benar, setelah putusan DKPP itu. Artinya sistem pemilu yang dijalankan untuk 2024 sudah dikondisikan untuk melakukan kecurangan itu.
Di saat semua orang melupakan semua rentetan kejadian itu, Pangdam Siliwangi mengingatkan, bahwa kalau pemilu akan curang TNI harus turun tangan.
Saya sendiri mendukung pernyataan ini. Sebab untuk apa pemilu kalau hanya melembagakan kecurangan-kecurangan. Pemilu secara prinsip harus dilaksanakan secara luber dan jurdil. Kalau sudah diskenariokan apakah bisa dikatakan luber dan jurdil?
Pemilu yang curang itulah yang kita tantang pada masa orde baru. Soeharto setiap lima tahun adakan pemilu. Tetapi pemilu itu tidak jujur dan tidak adil. Rezim-rezim tiran dalam sejarah tidak mungkin dilawan kalau mereka melaksanakan pemilu secara jujur dan adil itu.
Tetapi tirani selalu memonopoli kebenaran dengan pemaksaan. Memaksakan segala kehendak dengan cara-cara kotor dan curang. Tirani seperti ini yang akhirnya merusak demokrasi dan merusak sistem politik. Tirani dalam politik moderen, tidak lagi menggunakan senjata, tidak lagi melakukan pemaksaan terhadap massa, tetapi menggunakan instrumen negara untuk melegitimasi kejahatannya. Itulah yang kita waspadai pada pemilu 2024 nanti.
Kita lihat sekarang, pemilu 2024 sudah dimulai dengan pertengkaran. telah terjadi Ketumpuan komunikasi, merebaknya provokasi dan menguatnya pragmatisme politik akan membawa dampak yang cukup berbahaya bagi republik. Tapi saat rakyat bertengkar, maka teringatkan apa yang dikatakan diktator besar dari Uni Soviet, Stalin. Pemilu kata Stalin tidak ditentukan oleh siapa yang mencoblos nya, tapi ditentukan oleh siapa yang menghitungnya.
Kita bayangkan, bisa saja dalam pemilu 2024 nanti rakyat menyukai dan memilih calon A misalnya. Tapi ketika dihitung calon B yang menang. Inilah yang perlu diwaspadai. Pemilu seperti inilah yang akan menghancurkan republik. Soviet runtuh, Nazi Jerman hancur, Romawi Runtuh semua dari sistem pemilihan yang diatur oleh wasit.
Dalam sejarah Republik, tidak ada yang menyangka pemilihan umum bisa meruntuhkan Republik. Republik Romawi runtuh salah satunya karena pemilihan. Kemudian elit-elitnya tidak memiliki komitmen politik untuk menjaga negara. Mereka hanya berkepentingan untuk memenangkan kepentingan mereka sendiri. Diatas semua kepentingan individu dan klan itu negara diabaikan.
Kita harus memiliki kepekaan politik yang cukup baik untuk melihat bahwa republik sedang tidak baik-baik saja.
Mungkin ada yang bertanya, kalau terjadi kecurangan di bawa ke Mahkamah Konstitusi. MK sepanjang menangani sengketa Pemilu tidak menjadikan kecurangan yang tersistematis, terstruktur dan massif untuk menjadi bahan pertimbangannya. MK hanya menghitung suara yang diperoleh. Misalnya, kalau terjadi kecurangan, tapi tidak merubah hasil siapa yang menang MK akan memenangkan calon yang dimenangkan oleh KPU.
Jadi MK itu dalam perkara pemilu disingkat Mahkamah Kalkulator, hanya menghitung angka tidak melihat secara komprehensif terjadinya kecurangan itu. Padahal kalau kita mau jujur, operasi kecurangan dalam politik sebesar pilpres itu akan dibangun jauh-jauh hari melalui kewenangan dan kuasa yang bisa melakukannya. Sementara MK tidak melihat proses, mereka mengadili hasil.
Apalagi sekarang MK sudah sedemikian lemahnya. Bayangkan saja Hakim MK bisa ditarik kapanpun oleh lembaga pengusul apabila tidak mengakomodir kepentingan lembaga yang mengusulkan hakim MK. Contohnya terjadi Pada Prof. Aswanto. Jadi semua masalah ini sudah tersistematis.
Dalam kesemrawutan politik seperti itu TNI memang sangat dibutuhkan. Apabila pemilu menjadi ajang kecurangan, dan dimana-mana terjadi suap, serangan fajar, intrik dan provokasi Sebelum terlambat TNI harus ambil peran untuk mempertahankan republik dari bahaya itu.
Bangsa ini akan semakin kehilangan peta jalan masa depan kalau kontestasi politik seperti ini dimanfaatkan dengan cara-cara curang. Demokrasi Pancasila telah kehilangan nilainya, Pancasila sudah tidak lagi menjadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Kita harus kembali kepada nilai yang utama yaitu nilai Pancasila itu. Nilai utama yang dimaksud adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dengan permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial. Nilai itulah yang harus memandu etika politik berbangsa dan bernegara.
Tetapi jalan untuk kembali itu menemui ketumpuan. Sulit untuk mengajak semua elemen seperti partai politik, pejabat dan politisi untuk menjadikan Pancasila sebagai pemandu. Kalau Pancasila sudah mulai ditinggalkan artinya negara sudah ‘keropos’ karena tidak lagi memiliki landasan filosofis sebagai sebuah bangsa.
Ketika semua mulai tidak peduli, memang seharusnya TNI mengambil peran untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari berbagai bahaya yang sedang mengepungnya. Harapan itu cukup beralasan, bahwa TNI adalah satu-satunya kekuatan penjaga yang masih diandalkan untuk menjaga dan mempertahankan republik yang sedang koyak.
Jadi menurut saya, Mayjen Kunto sedang melihat bahaya, dan bahaya itu tidak diperdulikan oleh kekuatan sipil dan politik, hanya TNI yang masih melihat bahaya itu sebagai ancaman yang cukup serius.
Secara etika keterlibatan TNI dalam politik kenegaraan sangat penting. TNI tidak mengambil peran politik praktis, tidak juga terlibat dalam transaksi kepentingan elit politik. TNI hanya menjadi penjaga pertahanan nasional. Maka politik TNI adalah politik negara.
Dalam kecamata politik kenegaraan inilah TNI dibutuhkan untuk menjaga dan mempertahankan negara dan mempertahankan nilai-nilai berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana yang tertuang dalam tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sesuai dengan ketentuan Hukum dan perundang-undangan yang berlaku keterlibatan TNI dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan, baik kedaulatan dari dalam maupun kedaulatan keluar sangat penting. Menjaga dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Artinya menjaga bangsa dan warga negara dari berbagai ancaman baik itu ancaman dari luar maupun dari dalam. Semua itu tugas TNI.
Kalau semua ancaman itu terjadi dan telah terjadi apakah TNI harus diam? Kalau TNI diam maka TNI melanggar sumpah keprajuritan yang diikrarkan nya. Dengan demikian dapat dituduh berkhianat pada bangsa dan negara.
Dengan demikian cukup beralasan menurut saya TNI mengambil peran untuk menjaga bangsa dan negara dalam situasi dan kondisi apapun, tidak terkecuali menghadapi 2024 yang akan datang. Karena itu kita patut mengapresiasi kesadaran TNI melihat adanya bayang-bayang kecurangan yang sedang dioperasikan menuju pemilu 2024.
Etika menjaga dan melindungi bangsa dan negara itu adalah etika politik TNI. Juga Menjaga dan melindungi demokrasi dan negara hukum. Tidak ada kepentingan lain selain itu. Kalau politik merusak dan menghancurkan kehidupan berbangsa san bernegara, TNI harus mencegahnya. Jalan mencegahnya adalah mengambil peran untuk melakukan pencegahan atau penyelamatan itu.
Saya kira kita telah berkomitmen menjaga Pancasila, UUD 1945 dan NKRI serta Negara Hukum. Kalau komitmen sudah diikrarkan artinya kita harus berbuat untuk mencegah praktik yang bertentangan dengan nilai yang kita jaga itu.
Pada akhirnya tugas kita semua menjaga bangsa dan negara ini dari bahaya yang akan merusaknya. Saya kira kalau keadaan sudah semakin tidak terkendali, TNI harus terlibat aktif untuk menyelamatkannya. Itulah etika prajurit yang sesungguhnya.
Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi