Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam/RMOL
Presiden Joko Widodo dianggap sudah mencoreng wibawa dirinya sendiri dan kesakralan Istana Negara karena digunakan sebagai tempat untuk konsolidasi partai politik (parpol) untuk mendukung Ganjar Pranowo.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam yang setuju dengan pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa Megawati Soekarnoputri dianggap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak melibatkan diri dalam perpolitikan di akhir jabatan sebagai presiden.
"Apa yang disampaikan JK benar adanya, karena tidak mungkin Jokowi sebagai presiden juga merangkap sebagai tim sukses pasangan capres-cawapres," ujar Saiful kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (7/5).
Akademisi Universitas Sahid Jakarta ini menilai, kritikan JK sangat rasional dan berkesesuaian dengan konstitusi, bahwa posisi presiden tidak mungkin merangkap kepanjangan tangan dari partai koalisi atau bahkan petugas partai.
"Setelah Jokowi dilantik menjadi presiden maka ia presidennya seluruh rakyat Indonesia, bukan presidennya PDIP dan bahkan presidennya partai koalisi," kata Saiful.
Maka kata Saiful, apabila ada kaitan dengan undangan yang berbau partai politik (parpol), maka seharusnya tidak digelar di Istana. Mengingat, Istana dibayar dari keringat rakyat, dan bukan untuk konsolidasi parpol.
Menurut Saiful, Jokowi harus meniru Megawati dan SBY, tidak merusak sistem konvensi ketatanegaraan yang selama ini sudah berjalan.
"Di mana tidak ada agenda partai diselesaikan di Istana Negara, karena hal tersebut selain melanggar hukum juga menurunkan citra dan lembaga kepresidenan," terang Saiful.
Karena kata Saiful, Istana Negara harus sakral dan tidak boleh ditempati oleh agenda-agenda politik pribadi atau kepentingan golongan tertentu.
Dalam pandangan Saiful, Jokowi telah memberikan contoh tidak baik dan telah mencoreng wibawa dirinya sendiri dan kesakralan Istana Negara.
Seharusnya, kata Saiful, sebagai presiden dapat menempatkan diri dan membedakan mana yang merupakan agenda partai politik dan mana yang merupakan agenda kenegaraan.
Jika dicampuradukkan, tambah Saiful, akan dapat mengacaukan kebiasaan-kebiasaan yang telah dibangun oleh kepala negara dan pemerintahan di masa-masa silam.
"Dan itu tidak baik bagi perkembangan demokratisasi dan pemerintahan," pungkas Saiful.