Presiden Tunisia, Kais Saied/Net
Kondisi kebebasan pers di Tunisia setelah revolusi 2011 ternyata masih belum baik-baik saja. Pasalnya, beberapa aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Tunisia saat ini, Kais Saied dinilai otoriter dan mengekang pekerjaan para jurnalis.
Dalam sebuah pernyataan, Serikat Jurnalis Tunisia bahkan menyebut Presiden Saied sebagai musuh nomor satu kebebasan pers sejak dirinya memimpin penuh negara itu pada 2021 lalu.
Kepala Serikat Jurnalis, Mahdi Jlassi mengecam undang-undang pemerintah yang memberlakukan hukuman penjara karena menyebarkan informasi palsu atau desas-desus online.
"Beberapa jurnalis telah diadili berdasarkan undang-undang tersebut, yang merupakan kemunduran terbesar bagi kebebasan berekspresi sejak 2011," ungkap Jlassi, seperti dikutip dari
Haretz News pada Kamis (4/5).
Presiden Saied membantah telah membatasi kebebasan pers dan mengklaim tidak ada jurnalis yang dipenjara karena pendapatnya. Ia mengeluarkan aturan tersebut untuk menyelamatkan stabilitas Tunisia dari tahun-tahun krisis.
Kendati demikian, beberapa laporan menyebut beberapa jurnalis dipenjara karena mengkritik pemerintah.
Tahun lalu, jurnalis Saleh Attia dipenjara selama tiga bulan karena mengkritik peran tentara dalam politik. Jurnalis Ameur Ayad dipenjara selama dua bulan karena mengkritik presiden. Wartawan Nizar Bahloul menghadapi persidangan atas sebuah artikel yang secara umum mengkritik pihak berwenang.
Sementara tahun ini, Nourredine Boutar, kepala Radio Mosaique dipenjara atas tuduhan konspirasi terhadap negara dan pencucian uang.
Selain itu, banyak aktivis dan warga sipil yang ikut dipenjara karena postingan media sosial yang mengkritik presiden atau pejabat pemerintah lainnya.
Laporan Reporters Without Borders tahun 2023 menyebut bahwa kebebasan pers Tunisia telah menurun secara signifikan, di mana peringkatnya jatuh dari urutan ke-94 tahun lalu ke urutan ke-121 dalam indeks tahun ini.