Diskusi publik dengan tema “KUHP Baru dan Problematika Hukuman Mati di Indonesia†di Sajoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta Selatan/Ist
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada Januari lalu menjadi UU 1/2023, seharusnya menjadi kompromi bagi kelompok yang pro dan kontra terhadap hukuman mati.
Begitu dikatakan peneliti senior Imparsial Al Araf dalam diskusi publik dengan tema “KUHP Baru dan Problematika Hukuman Mati di Indonesia†di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (12/4).
Dijelaskan Al Araf, ruang kompromi itu karena pada KUHP baru itu menegaskan terpidana hukuman mati dapat diturunkan hukumannya jika berkelakuan baik selama masa uji coba.
"KUHP baru tetap mengakomodir hukuman mati, namun memberikan ruang perubahan hukuman menjadi seumur hidup apabila berkelakuan baik selama 10 tahun masa percobaan," ujar Al Araf.
Berlakukanya aturan itu, kata dia, harus dimanfaatkan sebagai ruang untuk melakukan moratorium hukuman mati di Indonesia. Terlebih, catatan tahun 2022 hanya 13 negara yang menjalankan hukuman mati, dan 42 negara lainnya melakukan moratorium secara praktik.
"Hukuman mati harus ditolak karena hukuman mati merupakan satu-satunya hukuman yang tidak bisa dikoreksi," tuturnya.
Sementara, anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari yang juga hadir sebagai narasumber, mengatakan dalam KUHP baru pidana mati dijadikan pidana khusus mengikuti perkembangan dunia.
Di mana, kata legislator Partai Nasdem ini, tujuan pidana saat ini bukan hanya penjeraan, tetapi juga pemulihan.
"Maka setiap orang yang divonis hukuman mati, haruslah otomatis menjalankan pidana percobaan selama 10 tahun dan kalau terpidana tersebut berkelakuan baik maka yang bersangkutan pidananya berhak diubah menjadi pidana seumur hidup," pungkasnya.