Mantan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi/Net
ADA babakan drama Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI dengan Menko Mahfud MD yang sangat menarik untuk disimak, yaitu ketika Mahfud MD sebagai Menko Polhukam meminta kepada Komisi III untuk segera menyelesaikan UU Perampasan Aset oleh DPR RI. Undang-undang tersebut sangat dibutuhkan oleh negara dalam upaya pemberantasan korupsi.
Jawaban yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI Bambang Pacul, sangat lucu dan disambut tawa sepakat dari para anggota yang hadir. Bambang Pacul mengatakan, dengan gaya seperti Srimulat, bahwa Pak Mahfud MD salah alamat. Jangan tanyakan kami, karena kami semua (DPR RI) tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan.
Mahfud MD diminta untuk melobi bosnya Bambang Pacul, Ketua Umum PDIP, karena dia akan menuruti keputusan ketua umumnya, bahkan dia mengonfirmasi di depan rekan-rekannya bahwa semuanya akan tunduk kepada ketua umumnya masing-masing.
Oleh karena itu, disarankan Mahfud MD untuk melobi para ketua umum partai politik untuk penyelesaian Undang Undang Perampasan Aset yang tidak kunjung diselesaikan.
Pernyataan Bambang Pacul yang dibawakan seperti guyonan Srimulat tersebut, sontak mengundang tawa semua yang hadir, ibaratnya beliau telah berhasil menghibur para hadirin.
Namun demikian pernyataan tersebut mengingatkan kita kembali kepada kondisi DPR di masa orde baru.
Pada waktu itu memang anggota DPR RI dibuat mandul dan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Semua harus mengikuti Ketua Umum bahkan Ketua Dewan Pembinanya, yaitu Presiden Soeharto.
Melihat gaya dan
body language ketua Komisi III tersebut, saya teringat kepada figur Harmoko, Menteri Penerangan zaman orde baru yang sedikit sedikit mengatakan “atas petunjuk Soehartoâ€.
Keduanya memiliki sebuah persamaan, yaitu mereka hanyalah merupakan corong dari bosnya masing-masing. Hal ini terkonfirmasi dalam drama RDPU tersebut.
Perjuangan gerakan Reformasi 1998 yang dimotori para mahasiswa telah berhasil mengangkat kedaulatan rakyat dan memberikan
empowerment kepada anggota DPR RI sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan menjadi corong kekuasaan semata.
Fungsi DPR RI sebagai corong ketua umum Parpol, menjadikan keberadaan mereka mubazir. Karena, mereka dipilih melalui proses Pemilu yang menggunakan dana APBN ratusan triliun rupiah.
Perlu diketahui Pemilu pertama hasil reformasi tahun 1999 memakan biaya Rp 1,3 triliun. Pada waktu itu menjadi prioritas bangsa Indonesia demi menciptakan kedaulatan rakyat dengan menempatkan wakil-wakilnya agar dapat mengusung aspirasi rakyat, padahal kondisi keuangan negara sedang babak-belur.
Biaya tersebut meningkat terus mencapai Rp 25 triliun pada tahun 2019. Untuk pemilu yang akan datang biaya pemilihan anggota dewan dan pemilihan presiden dianggarkan sebesar Rp 86,3 triliun dan anggaran pilkada sebesar Rp 22,8 triliun.
Jadi total Pemilu 2024 akan memakan biaya lebih dari Rp 100 triliun. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat yang ikut pemilu!
Biaya ratusan triliun yang telah dan akan dikeluarkan, bisa dipastikan menjadi mubazir jika anggota DPR RI tidak mampu membuat UU dan hanya menjadi corong ketua umum parpol masing-masing, seperti yang diucapkan oleh Ketua Komisi III DPR RI.
Kenyataan tersebut juga telah mengelabui rakyat pemilih karena pada umumnya ketua umum parpol tidak dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar pemilih tidak diberikan kesempatan untuk mendalami kapasitas dan integritas ketua umum partai politik.
Fungsi DPR RI sebagai pembuat undang-undang (legislator), pemegang kekuasaan anggaran pendapatan dan belanja negara (hak budget) dan fungsi pengawasan (hak angket) akan menjadi sirna dan musnah dengan pernyataan yang dibuat oleh Bambang Pacul sebagai Ketua Komisi III dalam rapat resmi.
Apalagi tidak ada anggota yang menginterupsi pernyataan tersebut. Bahkan direspons dengan tawa sepakat para anggota. Lebih yakin lagi Bambang Pacul mengatakan bahwa para anggota DPR RI di sini (dengan istilah Korea Korea?) nampak galak-galak tapi akan tunduk taqlid kepada ketua umum parpolnya masing-masing.
Tunduk dan patuh kepada komandan memang hal yang wajar dalam sistem organisasi, tetapi kewajiban konstitusional yang telah diamanatkan oleh undang-undang harus tetap dijaga keutuhannya, paling tidak dihargai.
Sepatutnya anggota DPR RI memberikan masukan positif kepada ketua umumnya bukan menyerahkan nasib dan tanggung jawabnya kepada ketua umum parpol tanpa
reserve.
Jika ini memang norma yang telah diberlakukan, alangkah baiknya kalau pemilu legislatif dihilangkan dan diganti menjadi pemilihan ketua umum partai politik oleh rakyat. Tujuannya agar kita tidak menghambur hamburkan uang rakyat dan menjadikan Indonesia sebagai Republik Mubazir.
*Penulis adalah mantan Menteri Negara BUMN