RAMADHAN kembali hadir di tengah-tengah kita. Kita menyambutnya dengan suka cita dan penuh kegembiraan. Tiga tahun yang silam (2020), kita merayakan Ramadhan dalam keadaan sunyi dan hening di rumah kita masing-masing. Alasannya, karena kekhawatiran pandemi covid-19.
Ramadhan tahun 2023 ini sungguh beda. Masjid-masjid kini kembali ramai. Tadarus alquran juga bergema dimana-mana. Jamaah tarawih menyesaki masjid. Wajah ceria anak-anak muslim juga terlihat dimana-mana. Sebuah anugerah yang perlu kita syukuri bersama.
Sayangnya, oleh banyak orang, Ramadhan hanya dibuat ibadah tahunan yang rutin dan biasa-biasa saja. Ghalibnya, yang mengemuka adalah kesan formalitas dan rutinitas Ramadhan. Saya lebih senang menyebut fenomena perilaku muslim ini –meski terlihat lebih ekstrem--sebagai ‘teater Ramadhan’. Pura-pura saleh di bulan Ramadhan, namun setelah itu, kembali pada lembah kemaksiatan duniawi. Inilah yang disebut teater Ramadhan.
Fenomena demikian ini sejatinya telah diprediksi Nabi Muhammad Saw. seribu empat ratus tahun yang silam. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw. bersabda: kam min shaaimin laisa lahu min shiyaamihi illal jua wal ‘athas. (HR. Imam Ahmad) Artinya, banyak sekali orang berpuasa, namun tidak mendapat apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Mengapa? Karena puasa mereka hanya lahiriah dan formalitas dengan mengabaikan puasa yang subtantif.
Ini berbeda dengan cara berpuasa orang-orang saleh masa dulu (
salafunas salih). Mereka berpuasa secara subtantif dengan menjadikan Ramadhan sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan. Bahkan, mereka telah memulai puasa subtantif sejak bulan Rajab, tiga bulan sebelum Ramadan sebagaimana isyarah doa Nabi Saw: allahumma barik lana fii Rajab awa syaba’na wa balighna ramadlaana. (HR. Muslim) Ya Allah, berkait kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami hingga bulan Ramadhan. Bagi mereka, Ramadan adalah puncak media mendekatkan diri pada Sang Maha Agung, Allah Swt setelah dua bulan sebelumnya (Rajab dan Sya’ban), mereka telah mempersiapkannya berbagai amal saleh.
Media Pensucian Jiwa Belajar pada orang-orang Soleh, Ramadhan mestinya dijadikan momentum pensucian jiwa. Sebagaimana firman Allah Swt: qad aflaha man zakkaha. Wa qad khaaba man dassaaha. (QS. As-Syam: 9-10). Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya. Dan merugi orang-orang yang mengotori jiwa.
Dalam tasawuf, pembersihan jiwa dikenal dengan melalui tiga tahapan utama, yaitu;
takhalli,
tahalli dan
tajalli.
Takhalli adalah media pembersihan jiwa dari sifat-sifat buruk manusia seperti iri dengki, sombong, ujub, bakhil, pemarah, riya, dan sifat buruk lainnya. Sifat-sifat ini dibuang jauh dari pribadi muslim.
Pasca
takhalli, seorang muslim mengisi jiwanya dengan
tahalli.
Tahalli adalah mengisi jiwa dengan sifat-sifat terpuji seperti kedermawanan, keberanian, kerendah hatian, zuhud, qanaah, ridho, wara, sabar, syukur, tawakal, dan sifat terpuji lainnya. Di sini, seorang muslim mulai mempraktikkan sifat-sifat terpuji dalam hidupnya meskipun sesungguhnya bagi seorang muslim tidak mudah melakukan tahalli ini. Nafsu akan menjadi tantangan berat dan utama bagi muslim yang tengah berjalan dalam proses tahalli ini.
Pada tahap selanjutnya, manusia mencapai tingkatan tertinggi, yaitu
tajalli, atau tampaknya hadirat Tuhan di hadapan manusia.
Tajalli ditandai dengan hilangnya hijab antara manusia dengan Tuhannya.
Soal hilangnya hijab, Ibnu Athailah dalam master piece-nya, kitab Hikam (tt), ia berkata: “Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, Padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak dari segala sesuatu...â€.
Proses penyucian jiwa tidak berjalan seketika, melainkan melalui proses panjang. Di sini, Ramadan menjadi salah satu media penting dalam proses tersebut. Ramadan yang hadir setahun sekali ini seolah menjadi reminder untuk proses takhalli, tahalli dan tajalli menjadi apa yang saya sebut sebagai Manusia Paripurna.
Menuju Manusia Paripurna Adalah Abdul Karim al-Jili (wafat 1428 M), seorang pemikir Islam yang melontarkan gagasan
al-Insan al-kamil (manusia paripurna). Gagasan al-Insan al-Kamil adalah kelanjutan gagasan para pemikir sebelumnya seperti Ibnu Arabi. Sebagaiman telah saya sampaikan di depan, bahwa wujud tajalli Tuhan berhubungan dengan –saya suka menyebutnya dengan ‘manusia paripurna’. Manusia Paripurna adalah hasil proses akhir menjadi tajalli. Artinya, begitu
tajalli, maka otomatis diri manusia menjadi manusia paripurna.
Dalam pandangan al-Jili, Manusia Paripurna adalah manusia yang sempurna baik dari segi wujud maupun pengetahuannya. Kesempurnaan wujud dan pengetahuannaya merupakan manifestasi kesempurnaan dari citra Tuhan. Pada diri manusia paripurna ini juga tercermin nama-nama dan sifat Tuhan.
Al-Jili membagi Manusia Paripurna dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama disebut dengan al-bidayah. Pada tingkat ini, manusia paripurna dapat mereaslisasikan asma dan sifat ilahi pada dirinya. Tingkatan kedua disebut dengan tawasut (tingkat menengah).
Pada tingkatan ini, manusia paripurna menjadi orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar-rahmaniyah). Dan ketiga, disebut
khitam (tingkatan terakhir) manusia paripurna telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh dan sempurna.
Ala kulli hal, Manusia Paripurna adalah manusia yang fisiknya sama dengan manusia lainnya. Tidak ada yang berbeda. Kecuali bahwa manusia paripurna secara spritual memiliki kualitas yang jauh berbeda dengan umumnya manusia. Dan puasa Ramadhan adalah salah satu media untuk mencetak para Manusia Paripurna sebagai khalifah yang dipilih-Nya. Semoga. Wallahu’alam.