Berita

Ilustrasi/Net

Suara Mahasiswa

Urgensi Penanggulangan Masalah Substandard and Falsified Medicines di ASEAN dalam Keketuaan Indonesia tahun 2023

OLEH: ABD AZIS*
SELASA, 28 MARET 2023 | 11:32 WIB

MENGANGKAT tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, keketuaan Indonesia di tahun 2023 ini dihadapkan oleh ancaman multidimensial, salah satunya adalah penyebaran obat-obat ilegal Substandard and Falsified Medicines (SFM). Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2017, sekitar 10,5 persen produk obat-obatan yang tergolong Substandard and Falsified Medicines (SFM) tersebar di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah.

Secara spesifik, pada tahun 2019 negara-negara di Asia menjadi pusat penyebaran produk SFM di dunia, dan kemudian menjadi masalah serius di Asia Tenggara. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kenyataan bahwa terdapat Cina dan India yang merupakan dua produsen obat-obatan medis terbesar di kawasan.

Di Asia Tenggara, negara-negara yang secara geografis sangat dekat dengan kedua negara tersebut seperti Vietnam, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos telah menjadi pusat penyebaran SFM sejak tahun 1990-an. Sekalipun tidak satu daratan, Filipina juga menghadapi masalah SFM yang pasokannya berasal dari Cina dan Pakistan.

Masalah penyebaran SFM ilegal kemudian menjadi kompleks ketika secara tidak langsung melibatkan dan mendapatkan dukungan dari pemerintah nasional seperti yang terjadi di Filipina. Sementara di Thailand, penanganan penyebaran SFM menjadi sangat dilematis saat pemerintah melakukan legalisasi terhadap produk olahan ganja.

SFM Sebagai Masalah Regional

Setidaknya ada 2 permasalahan utama yang menjadi highlight dari isu ini. Pertama, penyebaran SFM yang terjadi di kawasan Indocina (Vietnam, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos) tersebut utamanya disebabkan oleh tingkat mobilitas penduduk yang tinggi, aktivitas ekspor-impor barang yang masif, jaringan kartel narkoba yang dapat membantu infiltrasi masuknya obat-obatan SFM, dan kurangnya kontrol perbatasan yang efektif oleh negara-negara di Semenanjung Indochina.

Kedua, adalah adanya kesenjangan dalam distribusi obat-obatan yang legal digunakan dalam dunia medis. Di negara-negara berkembang khususnya di Semenanjung Indochina, obat-obatan yang legal dan sesuai dengan standar medis hanya dapat dijangkau oleh sebagian kecil kalangan di kota-kota besar. Kesenjangan ini kemudian diisi oleh masuknya produk obat-obatan ilegal SFM dengan harga yang jauh lebih murah dengan iming-iming menawarkan kandungan dan kualitas yang sama dengan obat-obatan legal yang dijual di pasaran.

Sementara itu, permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam upaya penanggulangan penyebaran SFM jauh lebih substansial dan mendasar. Dalam hal ini, adanya ambisi pemerintah untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) menjadi penghalang dalam menanggulangi masalah penyebaran produk SFM di Indonesia.

UHC bertujuan agar seluruh masyarakat tanpa terkecuali mendapatkan akses yang mudah terhadap fasilitas kesehatan tanpa harus terkendala masalah finansial. Hal ini menjadi masalah di Indonesia karena upaya pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan tidak diiringi dengan peningkatan subsidi di sektor kesehatan.

Akibatnya produsen dan distributor obat-obat medis memangkas biaya produksi yang berdampak terhadap merebaknya obat-obat sejenis yang tidak memenuhi kualifikasi medis. Hal tersebut pada akhirnya juga diperparah dengan kurangnya pengawasan terhadap penjualan obat-obatan medis di Indonesia.

Selain itu, buruknya implementasi dari kebijakan yang telah diberlakukan menjadi faktor yang ikut menjadi katalisator dalam permasalahan penyebaran produk SFM di Indonesia.

Sejauh ini, sebetulnya sudah ada beberapa kebijakan nasional di Asia Tenggara sebagai respons terhadap masalah penyebaran SFM, misalnya the National Drug Law (1992) di Myanmar, the Law on the Management of Pharmaceuticals (1996) di Kamboja, the Law on Drugs and Medical Products (2000) di Laos, the Drug Act (2003) di Thailand, dan the Law on Pharmacy (2005) di Vietnam.

Hanya saja, kebijakan-kebijakan tersebut seringkali berubah mengikuti perubahan rezim kepemimpinan di masing-masing negara, utamanya berkaitan dengan konsumsi obat-obatan terlarang. ASEAN sendiri juga sudah berupaya menanggulangi penyebaran produk ilegal SFM di Asia Tenggara.

Dalam the 14th ASEAN Health Ministers’ Meeting yang dilaksanakan di Kamboja, negara-negara ASEAN sepakat untuk mengambil langkah kolektif dalam menangani masalah penyebaran SFM di Asia Tenggara.

Pada tahun 2020, ASEAN dan Uni Eropa mengadakan pertemuan Asia-Europe Mechanism to combat SFMs. Kemudian dalam the 15th ASEAN Health Ministers’ Meeting tahun 2022, ASEAN Action Plan for Combating SFM berhasil diadopsi untuk selanjutnya diimplementasikan di seluruh negara-negara ASEAN.

Perlunya Peran Aktif Indonesia

Merebaknya isu terkait masifnya penyebaran produk-produk SFM menjadi momentum penting bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun 2023 untuk mendorong implementasi kebijakan yang lebih serius. Dengan mengusung tema “ASEAN matters: Epicentrum of Growth”, peluang Indonesia untuk menanggulangi masalah SFM di Asia Tenggara semakin terbuka lebar. Hal ini kemudian selaras karena Indonesia menekankan isu kesehatan sebagai salah satu isu prioritas yang akan diangkat dalam keketuaannya.

Setidaknya ada 3 hal yang penting bagi Indonesia untuk mendorong aksi cepat tanggap ASEAN dalam upaya penanggulangan penyebaran SFM di Asia Tenggara. Pertama, secara domestik Pemerintah Indonesia perlu mendorong peran aktif berbagai stakeholders terkait dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran di sektor kesehatan dalam memperluas jangkauan pelayanan kesehatan publik di seluruh wilayah Indonesia.

Peningkatan alokasi anggaran kesehatan sangat penting demi membuat harga pelayanan kesehatan publik dan obat-obatan sesuai standar medis menjadi terjangkau. Ambisi untuk mencapai UHC tanpa adanya peningkatan anggaran dan subsidi di sektor kesehatan hanya akan memperlebar pintu masuk penyebaran produk-produk SFM. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia harus berperan sebagai role model dalam penyelesaian masalah domestik terkait SFM.

Kedua, Indonesia perlu mendorong pemberantasan penyebaran SFM langsung dari akarnya. Indonesia perlu untuk mendorong ASEAN agar fokus pada pemberantasan SFM di kawasan Indocina. ASEAN harus memastikan bahwa negara-negara Indocina berada pada garda terdepan dalam peningkatan pengawasan terhadap penyebaran produk-produk SFM.

Dalam hal ini, peninjauan ulang integritas lalu-lintas rantai pasok pangan di negara-negara Indochina menjadi krusial. ASEAN dalam keketuaan Indonesia juga perlu menciptakan sebuah mekanisme kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap barang-barang medis yang diimpor dari beberapa negara seperti Pakistan, Cina, dan India. Pendekatan khusus terhadap negara-negara Indochina, seperti Thailand menjadi penting agar implementasi ASEAN Plan of Action for Combating SFM di Asia Tenggara semakin menguat.

Ketiga, Indonesia perlu mempromosikan prioritas isu kesehatan di badan-badan ASEAN, utamanya terkait penyelundupan SFM. Hal tersebut penting karena, penyebaran produk SFM berpotensi menyebabkan krisis kesehatan di kawasan dalam jangka menengah dan panjang. Ini berarti badan-badan ASEAN diharapkan dapat terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang rentan, yang utamanya menjadi sasaran penyebaran produk SFM terkait bahaya yang dapat ditimbulkan oleh obat-obatan ilegal SFM.

Keempat, Indonesia harus secara aktif mempromosikan terwujudnya tata kelola regional yang sehat di kawasan. Rencana pembentukan the National Multi-Stakeholder Group di seluruh negara-negara ASEAN harus dikawal dan direalisasikan sebagai salah satu upaya menghentikan penyebaran produk SFM melalui praktik-praktik korupsi utamanya di Filipina.

ASEAN dalam keketuaan Indonesia juga perlu menciptakan sebuah mekanisme yang kuat demi menghentikan masuknya pasokan-pasokan produk SFM dari negara-negara di luar ASEAN ke Filipina. Hal tersebut dapat dilakukan dengan evaluasi proses perizinan pemasaran produk-produk medis yang masuk ke Filipina.

*Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pertamina

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Sehari Usai Pencoblosan, Pj Gubernur DKI Lantik Walikota Jakpus

Kamis, 28 November 2024 | 22:00

Timses Zahir-Aslam Kena OTT Dugaan ‘Money Politik’ di Pilkada Batubara

Kamis, 28 November 2024 | 21:51

Polri Perkuat Kerja Sama Bareng Dukcapil Kemendagri

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

KPK Tahan 3 Ketua Pokja Paket Pekerjaan Perkeretaapian DJKA

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

Firli Bahuri Tak Hadiri Pemeriksaan Polisi karena Ada Pengajian

Kamis, 28 November 2024 | 21:25

Ini Kebijakan Baru Mendikdasmen Untuk Mudahkan Guru

Kamis, 28 November 2024 | 21:22

Rupiah Terangkat Pilkada, Dolar AS Masih di Rp15.800

Kamis, 28 November 2024 | 21:13

Prabowo Menangis di Depan Ribuan Guru Indonesia

Kamis, 28 November 2024 | 21:11

Pengamat: RK-Suswono Kalah karena Meremehkan Pramono-Doel

Kamis, 28 November 2024 | 21:04

Perbaiki Tata Ekosistem Logistik Nasional, Mendag Budi Sosialisasi Aturan Baru

Kamis, 28 November 2024 | 21:02

Selengkapnya