Kelompok pegiat HAM dan aktivis mulai merasa skeptis dengan proyek percontohan dari militer Myanmar, yang berencana memulangkan ribuan pengungsi Rohingya dari Bangladesh.
Menurut pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya, Nay San Lwin proyek tersebut diduga hanya kampanye dan pencitraan dari pemerintah Myanmar, untuk mengurangi tekanan dari masyarakat internasional.
“Keputusan untuk memulangkan 1.000 pengungsi ini tampaknya merupakan upaya junta untuk mengurangi tekanan dari China dan negara lain," katanya.
Dilaporkan
Aljazeera pada Jumat (24/3), pekan lalu delegasi Myanmar berkunjung ke kamp pengungsi terbesar di distrik Cox's Bazar Bangladesh. Delegasi itu menyatakan rencananya untuk melakukan repatriasi kepada ribuan pengungsi Rohingya, dengan melakukan pendataan dan wawancara lebih dulu.
Akan tetapi, para aktivis mencurigai proyek ini tidak akan benar-benar dijalankan oleh junta Myanmar, karena tidak ada jaminan apapun yang dijanjikan oleh pemerintah hasil kudeta itu.
“Junta tidak memiliki rencana untuk mengembalikan kewarganegaraan dan hak-hak Rohingya. Mereka juga belum menyatakan bahwa pengungsi yang kembali akan diizinkan tinggal di tempat asalnya atau diberi kebebasan bergerak,†kata Nay San.
Dalam pernyataannya itu, kelompok HAM dan para aktivis mengkhawatirkan kepulangan para pengungsi Myanmar, karena kini kondisi di negara itu dikabarkan semakin tidak aman yang dipicu oleh para militer yang berkuasa.
Untuk itu, para aktivis tersebut mendesak kepada junta agar mereka memulihkan hak kewarganegaraan Rohingya lebih dulu, sebelum para pengungsi dikembalikan lagi ke tempat asalnya.
“Jika hak-hak ini sudah dijamin, maka semua pengungsi akan bersedia untuk kembali pulang,†pungkas Nay San.