SALAH satu tantangan haji tahun ini adalah merawat Indeks Kepuasan Haji Jamaah Haji Indonesia (IKHJI) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik. Sebagaimana maklum, tahun 2022 yang silam, Kementerian Agama RI berhasil meraih indeks kepuasan jamaah haji di angka yang maksimal yaitu 90,45.
Sementara, Indeks Kepuasan Haji tahun 2019 yang silam hanya 85, 91. Dua tahun sebelumnya (2020 dan 2021), Indeks Kepuasan Haji nol karena pandemi covid-19.
Namun, semenjak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menetapkan angka Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) untuk jamaah haji reguler pada angka 49,8 juta yang jauh dari usulan BIPIH Kemenag RI yang 69,1 juta, maka semua kalangan mulai pesimis dengan angka tersebut.
Padahal, sesungguhnya kenaikan BIPIH itu rasional karena prinsip keadilan dan kemaslahatan untuk jamaah haji yang akan datang. Sementara, biaya total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tiap jamaah justru menurun dari 98,8 juta menjadi 90 juta. Ini karena skema pemberian manfaat yang mencapai 44,7 persen (40,2 juta) dari total Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) sebesar 55,3 persen (49,8 juta). (https://kemenag.go.id).
Pertanyaannya sekarang; akankah Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia ini akan menurun atau bahkan terjun bebas? Ataukah akan tetap seperti tahun 2022 yang silam?
Selain biaya yang turun, pemerintah RI juga dihadapkan pada banyaknya jumlah jamaah haji lansia. Ada banyak lansia yang mencapi 31 persen dari total jamaah haji tahun ini, 221.000.
Dengan demikian, jamaah lansia hampir 68.510 jamaah. Jamaah lansia berusia antara 65-100 tahun lebih, menjadikan tantangan tersendiri bagi pelaksanaan haji tahun ini.
Lebih dari itu, setidaknya ada beberapa tantangan lain yang akan dihadapi pelaksanaan haji tahun ini, sebagaimana berikut:
Pertama, akibat turunnya biaya haji (dari 98,8 ke 90 juta), maka terdapat pengurangan jumlah catering (konsumsi) untuk jamaah yang semula tiga kali menjadi dua kali. Hanya saja, satu kalinya digantikan dengan catering snack setiap hari (pagi hari).
Kedua, jamaah haji lansia yang tidak dibatasi umur. Dalam frame Kementerian Agama RI, Jamaah Haji Lansia adalah orang yang berumur 65 tahun ke atas. Akibat jamaah haji lansia tidak berangkat tahun 2022, maka jamaah lansia tahun ini menumpuk. Apalagi dengan tiadanya pembatasan umur sehingga terdapat jamaah haji yang berusia 100 tahun lebih.
Ketiga, kebijakan tidak ada pendamping untuk jamaah haji lansia. Tiadanya pendamping bagi jamaah haji Lansia, tentu merupakan tantangan tersendiri bagi penyelenggara jamaah haji tahun ini. Kebijakan tiadanya pendamping ini juga dilakukan untuk memangkas antrean panjang jamaah yang sudah mencapai 30 tahun.
Keempat, jamaah haji yang semakin kritis terhadap pelaksanaan ibadah haji seiring dengan tingginya tingkat pendidikan jamaah haji di Indonesia. Tentu demikian ini akan mempengaruhi terhadap pelayanan dalam Indeks Kepuasaan Jamaah Haji Indonesia.
Kelima, sementara berbagai hal yang banyak berubah, layanan ibadah haji di Mina tetap sebagaimana sebelumnya. Padahal, layanan Mina adalah salah satu inti yang mempengaruhi Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia.
Inilah beberapa tantangan yang membayangi pelaksanaan ibadah haji tahun 2023 ini. Namun, selain tantangan, terdapat banyak peluang yang bisa diharapkan. Sebagai misal, pemerintah Saudi juga sudah mulai melakukan perbaikan terhadap layanan ibadah haji, karena ingin mendapatkan income dari wisata religi (diantaranya haji dan umrah) yang selama bertahun-tahun diabaikan karena mengandalkan minyak.
Demikian halnya, Pemerintah Saudi juga mulai mendengarkan aspirasi yang berkembang dari jamaah haji di seluruh dunia di samping last but not least, mereka mulai melakukan perbaikan layanan haji secara perlahan.
Pada sisi lain, pemerintah melalui Kementrian Agama RI juga jauh-jauh hari telah menyiapkan antisipasi. Diantaranya seleksi petugas haji terbaik dengan pelaksanaan yang lebih dulu sebagaimana dilakukan tahun ini. Yakni, mulai Januari 2023.
Namun demikian, dalam hemat saya, pemerintah harus mengambil beberapa langkah strategis sebagaimana berikut:
Pertama, urgensi pendataan Jamaah Haji Lansia dengan detail dan komprehensip. Pendataan ini lalu ditindaklanjuti dengan komunikasi dengan pendamping yang telah terkoneksi dengan keluarga masing-masing Jamaah Haji Lansia.
Di sini, Kemenag Kabupaten harus memastikan pendamping jamaah haji lansia, baik dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) maupun di luar KBIHU.
Kedua, pemerintah seyogyanya menambah ‘pasukan khusus’ yang melayani jamaah haji Lansia. Pasukan ini dilatih sedemikian rupa untuk melayani jamaah haji Lansia. Meski belum tentu semua tercover, sudah pasti ‘pasukan khusus’ ini akan sangat membantu pelayanan jamaah haji di haramain. Apalagi mereka adalah pasukan terbaik yang sudah sangat terlatih ketika masih berada di Indonesia.
Ketiga, penataan yang lebih maksimal terhadap Petugas Haji Daerah (PHD). Jika selama ini Petugas Haji Daerah masih belum maksimal, maka tahun ini, PHD harus dimaksimalkan membantu PPIH Kloter dalam pelaksanaan ibadah haji.
Keempat, maksimalisasi pelayanan digital melalui aplikasi haji pintar. Selama ini, laporan yang manual membuat mobilitas pelaporan dan koordinasi yang lambat antara Petugas Haji Indonesia, baik di tingkat Kloter, Sektor maupun Daker.
Kelima, mensinergikan seluruh petugas haji untuk melaksanakan pelayanan terhadap jamaah secara maksimal dan memuaskan. Semua petugas haji: PPIH Pusat, PPIH Arab Saudi, PPIH Embarkasi dan PPIH Kloter (UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umroh) memberikan kinerja terbaiknya sehingga tidak sulit mencapai IKJHI sebagaimana yang diharapkan.
Dengan lima langkah ini, insyaAllah pelaksanaan ibadah haji tahun ini akan berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan harapan. Tentu, waktu beberapa bulan sebelum pelaksanaan ini dapat dimanfaatkan untuk konsolidasi mematangkan pelaksanaan ibadah haji Indonesia di tanah suci Makkah. Semoga.
Wallahu’alam.
*
Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Wakil Ketua PW LDNU Jawa Timur