Rafael Alun Trisambodo/Net
KEBERHASILAN reformasi birokrasi menjadi pertanyaan setelah terungkap gaya hidup anak Rafael Alun Trisambodo bernama Mario Dandy Satrio. Rafael adalah seorang pejabat eselon III. Gaji pokok tertinggi eselon III sebesar Rp 5,2 juta per bulan dan tunjangan kinerja tertinggi sebesar Rp 46,48 juta.
Angka tersebut tergolong jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan bersih sebulan pekerja bebas rata-rata yang sebesar Rp 1,49 juta per Agustus 2022. Perbedaan pendapatan tersebut seperti bumi dibandingkan dengan ketinggian langit. Sebuah perbedaan kesenjangan pendapatan yang sangat besar.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Dengan pemberian mekanisme tunjangan kinerja, maka Rafael diharapkan bekerja dengan baik. Akan tetapi, masalah yang terjadi adalah simpanan Rafael yang diblokir oleh PPATK sebesar Rp 37 miliar dan LHKPN Rafael tahun 2021 sebesar Rp 56,1 miliar, serta rekening terkait Rafael sebesar Rp 500 miliar.
Sementara itu simpanan perorangan total di Indonesia sebesar Rp 3,7 ribu triliun per Desember 2022 untuk 135,3 juta orang yang bekerja per Agustus 2022, sehingga simpanan perorangan rata-rata sebesar Rp 27,5 juta per tahun.
Artinya, maksud pemerintah melakukan reformasi birokrasi dengan pemberian tunjangan kinerja yang tinggi, terbukti tidak menghapus tata kelola keuangan pemerintah yang masih tidak baik, sebagaimana kasus yang ditemukan pada Rafael. Akan tetapi penemuan secara ekstrim tadi, tentu tidak dapat menjadi alasan otomatis untuk menghapuskan tunjangan kinerja.
Pada dasarnya kecemburuan yang bersifat terpendam terhadap perbedaan pemberlakuan pemberian tunjangan kinerja pada lintas kementerian, termasuk perbedaan besar simpanan di atas dapat menjadi sumber inspirasi untuk melakukan pembaruan-pembaruan pelaksanaan hasil survei tentang pengakuan besar pendapatan bersih dan pengakuan besar pengeluaran.
Hal itu, karena perkembangan rasio pajak yang menurun dan beban utang pemerintah pusat semakin tinggi yang berkelanjutan.
Pada sisi yang lain, pemberlakuan tarif pajak progressif, pengampunan pajak, dan restitusi pajak ternyata belum sempurna untuk melakukan kegiatan reformasi perpajakan, sekalipun perkembangan yang ada itu relatif sudah lebih baik dibandingkan tanpa pemberlakuan program-program reformasi birokrasi, termasuk reformasi perpajakan tersebut.
Kasus Rafael dan diikuti oleh kasus oknum petugas bea cukai dan oknum pejabat Badan Pertanahan menunjukkan bahwa persoalan reformasi birokrasi berikut tunjangan kinerja, serta digitalisasi pajak masih belum efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Kasus tadi terindikasi persoalan pungutan pajak juga berpotensi terjadi pada kementerian yang lain. Akibatnya, persoalan tersebut tidak dapat diisolasikan secara sempurna sebagai persoalan pertanggungjawaban Sri Mulyani Indrawati sebagai pimpinan Kementerian Keuangan, melainkan sebagai tantangan reformasi birokrasi pada skala yang lebih besar dan lebih luas.
Peneliti Indef dan Pengajar Universitas Mercu Buana