Ketua Umum FSP BUMN Bersatu, Arief Poyuono/RMOL
Dana pensiun (Dapen) yang mengalami defisit didorong untuk dilakukan pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, muncul dugaan ada kesalahan tata kelola yang dilakukan oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, Arief Poyuono angkat bicara terkait dugaan kesalahan tata kelola Dapen di BUMN tertentu.
“BUMN tengah mewaspadai kondisi dana pensiun yang mengalami defisit. Kondisi ini dikhawatirkan menjadi bom waktu gagal bayar dalam satu atau dua tahun ke depan,†ujar Arief kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (22/2).
Sebagai contoh, Arief menyebutkan upaya penegakan hukum yang telah dilakukan oleh Kejagung, yaitu menyelidiki dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun (Dapen) DP4 Pelindo terjadi karena kesalahan reinvestasi.
“Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, program reinvestasi yang dijalankan pada periode 2013-2019 ini tidak menggunakan studi kelayakan, standar mutu dan analisis risiko,†urai Arief.
Menurutnya, hal yang menyebabkan dana investasi itu merugi, sejauh ini adalah karena kesalahan reinvestasi tersebut terletak di aset saham.
“Bukan cuma Dapen BUMN yang dibobol, tetapi dari informasi yang didapat FSP BUMN, pengelolaan Dapen di BPD-BPD seluruh Indonesia juga amburadul, dan banyak dijadikan bancakan oknum pengurusnya,†katanya.
Maka dari itu, selain Kejagung dan KPK yang harus turun tangan untuk menyelidiki dugaan kesalahan tata kelola dapen itu, juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar melakukan audit kondisi keuangan dan tata cara pengelolaan seluruh Dapen BPD beserta anak usahanya.
“Salah satunya adalah PT Asuransi Bangun Askrida. Sudah lama PT Askrida dijadikan alat untuk bancakan oknum pengurus Dapen dan beberapa Pemprov,†tuturnya.
Dengan modus dapen BPD se-Indonesia seperti itu, malah membuat Askrida sebagai alat bancakan. Karena Arief mencatat adanya temuan laporan audit yang diakali dengan modus utang yang diklaim hingga Rp 1,8 triliun tidak tercatat, serta komisi asuransi senilai kurang lebih Rp 800 miliar diduga dibagi-bagi ke oknum pejabat kepala daerah.
“Sehingga jika OJK tidak segera turun tangan pasti akan terjadi bencana yang sama parahnya dengan Jiwasraya dan Asabri dan tentunya membuktikan tidak optimalnya kerja OJK dalam mengawasi pengelolaan dana pensiun di BPD-BPD dan BUMN,†ungkapnya.
“Nah, yang paling penting lagi segera Kejaksaan Agung dan KPK mulai juga menyelidiki dugaan korupsi pada dana-dana pensiun Bank Pembangunan Daerah,†demikian Arief menutup.