Berita

Logo Nahdlatul Ulama/Net

Dahlan Iskan

Fikih Berubah

SENIN, 06 FEBRUARI 2023 | 04:13 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

KETIKA belum ada negara, alangkah bebasnya manusia. Bisa pergi ke mana saja. Orang Bugis sampai ke Afrika Selatan. Orang Fujian sampai ke Sumbawa.
Ketika ditanya akan ke mana, kakek Karmaka Suryaatmaja hanya menjawab: "xia nan yang". Artinya: turun ke laut selatan. Tidak ada suatu negara yang dituju.

Kapalnya terus berlayar ke Selatan. Sampailah ke pelabuhan yang lantas dikenal sebagai Sunda Kelapa. Karmaka, yang masih bayi hampir dibuang ke laut. Bayi Karmaka menderita sakit parah. Takut menular.


Akhirnya Karmaka disembuhkan di dalam kapal. Baru bisa ke daratan Jawa. Akhirnya sampai ke Bandung. Kawin di Bandung. Ketika negara dibentuk, ia jadi warga negara Indonesia. Lalu berjuang untuk bisa hidup di rantau. Sukses. Jadi pemilik bank NISP �"kini OCBC NISP.

Ketika dunia dikapling-kapling jadi negara, mulailah aturan hidup berubah total. Ketika ''kapling'' itu masih dalam bentuk kerajaan atau kekaisaran, batas-batasnya masih lentur. Tapi begitu menjadi negara manusia terkurung di kurungan-kurungan negara.

Apalagi setelah ada batas negara. Ada paspor. Ada visa. Ada imigrasi. Ada bea cukai.

Bagi kita yang, lahir setelah ada negara, kita tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa negara.

Apakah dunia kian tertib, aman, sejahtera, setelah ada negara-negara? Sudah pasti, perang antar suku, antar kelompok, antar kerajaan berkurang secara drastis. Ada aturan yang akan menjerat mereka yang berkelahi. Aturan itu yang kita sepakati ketika membentuk negara.

Lantas terbentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): mengatur hubungan antarnegara. Secara internasional negara menjadi terikat pada aturan bersama di PBB.

Secara nasional warga negara mengikatkan diri pada aturan-aturan negara. Maka sejak itu lantas ada aturan pribadi, aturan keluarga, aturan agama, dan aturan negara.

Antarkeluarga ada aturannya. Antarpenganut agama ada aturannya. Antarwarga negara juga ada aturannya.

Bahkan antarnegara sesama anggota PBB ada aturannya. Bolehkah perseorangan mengingkari aturan-aturan bersama itu?

Dulu, ketika aturan hidup orang Islam dirumuskan dalam fikih, saat itu belum ada negara. Fikih bisa mengikat perilaku perseorangan secara sempurna. Tanpa ada kekhawatiran terbentur dengan aturan lain di luar itu.
Demikian pula di Kristen.

Maka Muktamar Fikih Peradaban yang berlangsung di Surabaya hari ini sangat menarik. Itulah Muktamar I Fikih Peradaban. Yang akan merumuskan aturan-aturan fikih yang mampu mendukung kemajuan peradaban manusia. Yang akan disusul dengan muktamar ke II dan seterusnya.

"Kalau bisa setiap tahun. Atau dua tahun sekali," ujar KH Yahya Cholil Staquf, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Harus selalu di Indonesia. Dan yang menyelenggarakan PBNU," ujar Kiai Staquf saat podcast bersama saya Sabtu lalu.

Prakarsa seperti ini dimaksudkan  agar Islam bisa menjadi agama rahmatan lil alamin. Bisa menghindarkan bumi dari kerusakan. Atau bahkan kehancuran.
Benturan peradaban, bisa datang dari benturan antar agama. "Kalau itu terjadi, kiamat akan datang lebih awal. Bukan kiamat yang datang seperti yang diajarkan," ujar Kiai Staquf.

Pembahasan Fikih Peradaban itu ternyata sudah dimulai sejak Kiai Staquf terpilih sebagai ketua umum PBNU tahun lalu. Sampai saat ini sudah dilakukan 280 kali pembahasan. Di pesantren-pesantren terkemuka di lingkungan NU. Juga di lembaga kajian.

"Kiai-kiai kita di kampung-kampung itu hebat-hebat. Mereka pemikir keagamaan yang mumpuni," ujarnya.

Boleh dikata Muktamar Fikih Peradaban hari ini adalah muara dari 280 halaqah Fikih Peradaban di berbagai pesantren itu. Hasil Muktamar inilah yang akan dilaporkan di puncak acara Harlah ke-100 NU di Stadion Gelora Delta,  Sidoarjo, 7 Februari lusa.

Yang sudah disepakati di 280 halaqah itu, salah satunya, adalah bahwa ajaran Islam itu ada yang harus tetap, tapi ada yang bisa berubah. Dan yang bisa berubah itu jauh lebih banyak.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya