PERNYATAAN Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, terkait ‘pemimpin bijak’ dalam acara “Seleksi Prestasi Akademik Nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri†di Surabaya pada beberapa hari yang lalu (20/1), patut diapresiasi.
Gus Yaqut –demikian panggilan akrab Menteri Agama—mendorong Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) untuk memiliki distingsi dengan Perguruan Tinggi yang lain.
Gus Yaqut menyebut distingsi ini dengan unggul dalam bidang studi agama. Studi agama yang dimaksud di PTKIN tentu adalah Studi Islam atau Islamic Studies. Bagi Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor tersebut, unggul dalam ‘Islamic Studies’ di PTKIN, tidak akan dapat dikejar oleh perguruan tinggi negeri di luar Kementerian Agama RI.
Dalam lanjutan sambutannya, Menteri Agama RI kelahiran 4 Januari 1975 ini juga juga mengkaitkan core ‘Islamic Studies’ PTKIN ini dengan kemampuan melahirkan ‘pemimpin bijak’ . Menurutnya, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) harus memproduksi pemimpin bijak, bukan hanya pemimpin pintar.
Pemimpin yang bijak adalah hasil tempaan PTKIN yang unggul dalam bidang Islamic Studies, meski pemimpin yang pintar (smart leader), baginya, juga masih tetap diperlukan dalam berbagai ruang publik.
Sebelumnya, Gus Yaqut juga berulangkali mengingatkan para rektor untuk memiliki integritas, menjauhi prilaku koruptif, kolutif dan nepotis. Menteri Agama RI yang sebelumnya anggota DPR RI 2019-2024 ini menyebut hukuman keras dan tegas bagi para rektor yang tidak berintegritas.
Dia mencontohkan, bahwa PTKIN tidak boleh mencontoh kasus koruptif yang menimpa Rektor Unila Lampung pada tahun 2022 yang lalu. Ini adalah untuk ke sekian kalinya Menteri asal Rembang tersebut menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi di Kementerian Agama RI.
Setidaknya, dalam hemat saya, ada beberapa catatan yang menarik disimak dari Gus Yaqut, sebagaimana berikut:
Pertama, soal komitmen Gus Yaqut untuk menjadi garda depan dalam mengawal kementerian agama yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain berulang kali disebut Gus Yaqut, kementerian agama RI juga menunjukkan best practice integritas moral yang semestinya menjadi bagian tak terpisahkan darinya.
Sebagian kalangan menyebut masa Gus Yaqut ini sebagai ‘masa keemasan’ kementerian agama, dimana Kemenag RI menjadi ‘zero korupsi’. Tentu ini tidak lepas dari peran Kemenag RI di bawah pimpinan Gus Yaqut. Karena, bagi Gus Yaqut, jika korupsi terjadi di PTKIN, malunya tentu akan berlipat-lipat jika dilakukan di PTKIN.
Kendatipun ini tidak terlihat publik, namun terasa sekali jika best practice anti korupsi ini tengah diberlakukan di Kementrian Agama dalam tiga tahun terakhir. Best Practice ini seyogyanya dibumikan lebih luas lagi di semua jajaran kementerian agama tanpa kecuali.
Kedua, gagasan inovasi Gus Yaqut tentang penguatan kembali core Islamic Studies di PTKIN. Urgensi meneguhkan kembali Islamic Studies adalah realistis di saat sebagian PTKIN yang telah berubah dari STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan UIN (Universitas Islam Negeri) malah euforia bangga dengan program studi umum dan cenderung ‘melupakan’ studi Islam.
Padahal, Islamic Studies inilah yang menjadi core dan keunggulan yang tidak akan terlampau oleh PTN di kemendikbud. PTKIN seharusnya terus bangga dengan keunggulan studi Islam ataupun Islamic Studies-nya tersebut.
Selain itu, diakui atau tidak, biaya penyelenggaraan pendidikan di PTKIN Kemenag RI sangat jauh dibanding dengan biaya APBN untuk Perguruan Tinggi Negeri di Kemendikbud misalnya. PTKIN selalu tertinggal jauh dibanding dengan Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemendikbud RI dari berbagai aspeknya: sarana prasarana, sumber daya manusia, jaringan internasionalnya, dan sebagainya.
Ketika program Merdeka Belajar Kampus Merdeka diluncurkan Kemendikbud RI, Kementrian Agama RI relatif jauh tertinggal karena tidak ada dukungan logistik anggaran. Ini berbeda dengan logistik yang jauh lebih memadai di Perguruan Tinggi Negeri di bawah lingkungan Kemendikbud RI.
Menguatkan kembali core ‘Islamic studies’, oleh karenanya, adalah jalan terbaik yang realistik. Demikian ini juga akan terus mengingatkan PTKIN dengan keunggulan tersebut di tengah menurunnya animo sebagian masyarakat terhadap Islamic Studies di Perguruan Tinggi Islam.
Jangan sampai PTKIN akan mencapai keunggulan program studi umum yang belum pasti dengan meninggalkan keunggulan utama Islamic Studies yang sudah pasti. Idealnya, Islamic Studies menjadi keunggulan utama dan studi umum menjadi keunggulan tambahannya.
Ketiga, mengkaitan core ‘Islamic Studies’ dengan pemimpin bijak (wise leader) adalah sebuah kejeniusan. Dengan segala keterbatasan, PTKIN tetap dapat menghasilkan pemimpin.
Dan bahkan yang keren, pemimpin yang dihasilkan oleh PTKIN adalah model wise leader atau pemimpin yang bijak, bukan pemimpin yang pintar (smart leader). Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang diilhami oleh nilai-nilai agama yang dikuatkan kepribadiannya dalam pembelajaran keseharian di kampus-kampus PTKIN.
Kita masih ingat pengembangan Islamic Studies dengan ‘Jaring Laba-laba’ di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta gagasan Amin Abdullah dan ‘Pohon Ilmu’ di UIN Maliki Malang karya Imam Suprayogo puluhan tahun yang silam. Islamic Studies di Indonesia sendiri adalah perjalanan panjang studi Islam yang dimulai dari sistem langgar, sistem pesantren dan sistem pendidikan kerajaan. Pada abad 20, mulai muncul lembaga pendidikan berupa madrasah atau sekolah yang dikelola organisasi kemasyarakatan.
Umumnya, studi Islam saat itu, masih berupa ilmu-ilmu keislaman yang konvensional yang belum terkoneksi dengan isu modernitas. Jaring laba-laba dan pohon ilmu adalah dua model kritik ilmu studi Islam agar lebih relevan dengan masa sekarang dengan paradigma integratif-interkonektif.
PTKIN, oleh sebab itu, harus tetap istiqomah menjadikan ‘Islamic studies’ sebagai sebuah kekuatan dengan fokus memproduksi pemimpin-pemimpin bijak nan tangguh di masa yang akan datang. Tanpa bermaksud meninggalkan kepintaran, pemimpin yang bijak jauh lebih tahan banting dengan kondisi apapun yang dimilikinya. Karena pemimpin yang hanya mengandalkan kepintaran akan dikalahkan dengan mesin, sementara pemimpin yang bijak akan melampaui mesin.
Walhasil, dengan apa yang dimilikinya, PTKIN tetap menjadi luar biasa bahkan PTKIN akan mampu melampaui Perguruan Tinggi Negeri di luar kementerian agama. Mengapa? Karena PTKIN tetap fokus pada ‘Islamic Studies’ yang menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bijak (wise leaders).
Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana lalu formulasi pemimpin bijak hasil Islamic Studies di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)? Dan dengan persaingan ketat prodi-prodi umum seperti ilmu kedokteran, ilmu hukum, ilmu kesehatan, ilmu psikologi, dan sebagainya, akankan para rektor dan civitas akademika PTKIN berbasis Islamic Studies akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bijak yang kita nantikan?
Saya kira, inilah PR besar para rektor dan civitas agama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di Kementerian Agama RI di masa yang akan datang.
Wallahu’alam.
*Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember