DARI tiga tersangka serial killer, Dede Solehudin paling unik. Perannya: Terima duit dan menyiapkan kuburan korban. Ia main drama, meneguk kopi beracun sebagai alibi. Tapi dramanya sia-sia gegara ia 'digigit' tersangka lain.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko kepada pers, Senin, 23 Januari 2023 mengatakan: "Kini tersangka DS sudah ditahan bersama dua tersangka lain di Polda Metro Jaya."
Kasus ini menghebohkan Indonesia. Baru kali ini ada komplotan serial
killer. Biasanya, serial
killer cuma pelaku tunggal. Ini tim. Dengan permainan drama yang sepele, tapi unik.
Dimulai, Kamis, 12 Januari 2023 sekitar pukul 09.00 tim polisi mendatangi rumah Wowon di Bantar Gebang, Bekasi. Di sana ada lima orang keracunan pestisida. Maemunah, Ridwan Abdul Muiz, Muhamad Ruswandi, Dede Solehudin dan balita perempuan, NA (5).
Maemunah istri Wowon. Ridwan dan Ruswandi anak Maemunah dari suami terdahulu bernama Didin. Sedangkan, Dede adik Wowon. Si balita cewek NR, anak Wowon dengan Maemunah.
Korban dikirim ke RSUD Bantar Gebang Bekasi. Tiga orang, Maemunah, Ridwan dan Riswandi, tewas. Dede dan NR selamat. Lalu dirawat.
Ketika korban dikirim ke RSUD, tim polisi olah TKP. Muntahan para korban di lantai, diambil sebagai sampel barang bukti.
Polisi menemukan di halaman belakang ada bakaran sampah plastik. Sampah diteliti, tampak masih baru dibakar. Setidaknya, dibakar semalam.
Di situ polisi menemukan plastik bungkus pestisida. Terbakar sebagian. Tapi masih terbaca tulisan pestisida. Segera, dilakukan uji laboratorium forensik. Meneliti sampel muntahan.
Ternyata sampel mengandung pestisida. Cocok, dengan bungkus pestisida di sampah itu.
Ditambah fakta, Wowon menghilang. Bahkan, tidak hadir di pemakaman istri dan anak-anak tirinya. Maka, Wowon dikejar. Ditangkap di rumah desa di Cianjur.
Dalam pemeriksaan awal, Wowon mengakui, membunuh meracuni lima orang itu. Eksekutor peracun adalah Solihin, tetangga Wowon di Cianjur. Solihin pun ditangkap.
Solihin diinterogasi. Langsung, mengakui ia meracuni mereka, kecuali Dede. Polisi jadi heran. Diinterogasi mendalam, Solihin 'menggigit' Dede, yang bagian dari pelaku pembunuhan. Akhirnya, terungkap bahwa mereka bertiga komplotan dukun.
Seketika itu posisi Dede dipindah dari RSUD ke RS Polri Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur. Langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ternyata, Dede cuma sakit perut sehari, lalu sembuh
"Tersangka DS meminum kopi pestisida sedikit, kira-kira sececap. Sebagai alibi, mengelabui polisi," kata penyidik.
Sampai di sini, sandiwara Dede ikut minum racun, aneh. Padahal, ia bisa saja tidak ikut minum, dan tidak ikut berada di rumah Bantar Gebang itu. Ternyata, terbukti kemudian, Dede ingin memastikan para korban minum racun dan tewas.
Korban lain yang tidak tewas, balita NA. Karena bocah ini memang tidak suka kopi. Dipaksa minum, cuman seteguk. Dia selamat, dan masih dirawat di RSUD Bantar Gebang.
Dari pendalaman polisi diketahui sembilan korban dibunuh komplotan ini. Daftar korban tewas, sebagai berikut:
Di Bekasi tiga:1) Ai Maemunah (40), istri siri Wowon. 2) Ridwan, anak Maemunah dan mantan suaminya, Didin. 3) Riswandi, anak Maemunah dan mantan suaminya, Didin.
Di Cianjur ada lima: 1) Noneng, mertua Wowon. 2) Wiwin, istri pertama Wowon yang anak Noneng. 3) Bayu, (2 tahun), anak Maemunah dan Wowon.
4) Farida, TKW, pasien dukun Wowon Cs. 5) Halimah, istri siri Wowon yang juga ibunda Maemunah.
Di Surabaya ada satu: Siti, TKW, pasien dukun Wowon Cs, dibuang ke laut, sudah dikubur di Garut.
Komplotan ini cari nafkah dengan cara nekat dan sadis. Mereka semua mengaku dukun, spesialis menggandakan harta. Sasarannya TKW, karena mereka punya banyak kenalan TKW. Padahal, itu cuma tipuan. Mereka tidak bisa menggandakan harta.
Pasien pasti komplain. Saat komplain, pasien digiring untuk dibunuh. Semua itu disaksikan keluarga Wowon. Maka, saksi mata harus dibunuh juga.
Pembagian peran begini: Wowon mencari pasien, atau semacam marketing. Ketika pasien komplain, Wowon mengantarkan ke Solihin, untuk dibunuh.
Peran Solihin membunuh. Dari sembilan korban, delapan dibunuh Solihin. Satu korban bernama Siti dibunuh Noneng. Lalu, Noneng dibunuh Solihin.
Peran Dede paling empuk: Terima pembayaran dari pasien. Tugas lain, menggali lubang calon kuburan pasien. Selama ini, kuburan pasien ada di pekarangan rumah Wowon dan Solihin.
Begitulah sederhananya kasus ini. Sederhana-sadis. Semakin banyak pasien, semakin banyak yang dibunuh. Polisi masih berusaha mengungkap korban lain.
Meski kejahatan mereka sederhana, tapi hasilnya lebih dari Rp 1 miliar. Setidaknya, rekening Dede sudah diblokir polisi. Sedang diperiksa intensif.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Mohammad Fadil Imran kepada pers, mengatakan aliran uang masuk ke rekening tersangka, dari para korban, nominalnya ratusan juta rupiah.
Irjen Fadil: "Rekening tersangka kami periksa. Aliran uang masuk ada yang sampai Rp 250 juta, ada yang Rp180 juta."
Jumlah uang yang diblokir lebih dari Rp 1 miliar. Tapi, itu hasil sementara. Masih terus ditelusuri polisi. Juga belum diperiksa, uang pasien yang diterima pelaku selain Dede.
Dari sembilan korban tewas, cuma dua yang pasien komplotan dukun ini. Selebihnya, para saksi mata, yang keluarga dan kerabat Wowon.
Jika dihitung dari nilai uang yang diblokir polisi, kecil kemungkinan bahwa Rp 1 miliar itu cuma berasal dari dua orang pasien yang dibunuh. Sangat mungkin masih ada korban lain. Apalagi, penyidikan aliran uang masuk ke tersangka, belum selesai.
Polisi kini mengurai berbagai hal tentang serial
killer ini. Ada banyak pertanyaan belum diungkap polisi. Misalmya, jika para tersangka membunuh semua saksi mata, mengapa sampai bayi 2 tahun (Bayu) yang anak tersangka Wowon juga dibunuh? Bukankah bayi belum mengerti perbuatan mereka?
Juga, siapa inisiator tiga serangkai serial
killer itu? Apakah Wowon atau Solihin? Lantas, bagaimana yang bukan inisiator bisa ikut bergabung, padahal skenario kejahatan mereka jelas dan sadis.
Katherine Ramsland dalam bukunya bertajuk: "
Inside the Minds of Serial Killers" (Praeger Publishers,2006) menyebutkan, serial
killer yang dilakukan lebih dari satu pembunuh (sebagai tim) pasti ada yang dominan, dan ada pengikut.
Ramsland mengutip film Amerika Serikat (AS) bertajuk "
Natural Born Killers" produksi 1994, disutradarai Oliver Stone. Itu film fiktif yang menampilkan tim pembunuh berantai dilakukan pasangan suami-istri. Inisiatornya adalah suami, sedangkan sang istri pengikut.
Di situ serial
killer team itu menikmati kekerasan acak untuk melampiaskan kemarahan dan melatih kekuatan, dengan cara membunuh banyak orang.
Film menunjukkan bagaimana pasangan mengembangkan dorongan membunuh bersama, memadukan impuls mereka dalam serentetan kekerasan.
Begitu juga tim pembunuh berantai lainnya, pasti ada inisiator dan ada pengikut.
Pertanyaannya, apakah pengikut berani membunuh jika ia tidak bersama tokoh inisiator? Atau, mengapa pengikut tidak takut, padahal ia cuma ikut-ikutan dan kejahatan mereka membunuh banyak orang adalah kejahatan sangat serius?
Jawaban di buku itu, pengikut di tim pembunuh berantai larut terbawa oleh semangat inisiator. Dan, para pengikut merasa bahwa jika suatu saat mereka ditangkap polisi, mereka tidak merasa sendirian. Para pengikut berpikir, bahwa kalau suatu saat mereka ditangkap polisi, maka tanggung jawab terberat ada di inisiator.
Kenyataannya, para pengikut tetap dituntut sebagai pembunuh berantai. Meskipun, kebencian masyarakat tertuju pada inisiator.
Di serial
killer Bekasi, pembagian peran tiga orang itu sudah diungkap polisi, seperti diurai di atas. Tapi, mereka bertiga sama, dikenakan Pasal 340 KUHP, Pembunuhan Berencana, dengan ancaman hukuman mati. Juncto Pasal 338 KUHP, Pembunuhan Biasa.
Dede yang berperan menggali kubur para korban, dikenakan sama dengan eksekutor Solihin. Polisi masih mencari tahu, siapa inisiator tim ini.
Penulis adalah Wartawan Senior