Berita

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun/Net

Politik

Perpanjangan Masa Jabatan Bukan Solusi, Substansi Masalah Ada pada Leadership

JUMAT, 20 JANUARI 2023 | 08:57 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dianggap merusak demokrasi. Sebab, jabatan publik yang dipilih rakyat, dalam demokrasi harus bergantian agar terhindar dari kecenderungan otoritarian dan korup.

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, usulan perpanjangan jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun berdasarkan argumen kepala desa dan Budiman Sudjatmiko adalah hal yang merusak demokrasi.

Ubedilah mencatat ada dua argumen yang dikemukakan kepala desa untuk memperpanjang masa jabatan itu. Pertama, karena enam tahun tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat desa akibat pilkades sehingga tidak cukup untuk membangun desa. Kedua, dana untuk pilkades lebih baik untuk dana pembangunan sumber daya desa.


Argumentasi pertama, kata Ubedilah, tidak dapat dibenarkan karena enam tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa, termasuk waktu yang sangat cukup untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades. Juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu.

"Jadi problemnya bukan soal kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa. Itu masalah substansinya. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (20/1).

Sementara argumen kedua juga lemah karena dana pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN. Sebab angka dana pilkades itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampai Rp 50 triliun.

Dengan demikian, secara argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu lemah, dan lebih dari itu, secara substantif merusak demokrasi. Sebab kata Ubedilah, jabatan publik yang dipilih rakyat itu dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korup.

"Bayangkan enam tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi sembilan tahun. Selain itu menurut Pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa disebutkan kepala desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Kalau sembilan tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun. Suatu periode yang berpotensi besar menjalankan praktek korupsi," terang Ubedilah.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya