Berita

Prof. M. NOOR HARISUDIN/RMOL

Publika

Jokowi, Perppu Cipta Kerja dan Jalan Lempang Konstitusi

OLEH: M. NOOR HARISUDIN*
SENIN, 09 JANUARI 2023 | 23:33 WIB

PADA akhir tahun 2022, Jokowi mengejutkan banyak pihak. Ia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Praktis, banyak kalangan  mengkritik Jokowi yang dianggap telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Inkonstitusional Bersyarat atas UU Cipta Kerja tahun 2020 yang silam. Artinya, Jokowi dianggap tidak memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut dan cenderung malah potong kompas dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang terbit 30 Desember 2022.

Dalam hal Perppu Cipta Kerja, Jokowi juga dianggap mengabaikan amar putusan Mahkamah Konstitusi untuk menjadikan UU Cipta Kerja berstatus ‘konstitusional bersyarat’ dari status sebelumnya ‘inkonstitusional bersyarat’. Cacat formil UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana kita tahu, salah satunya adalah karena pengabaian partisipasi publik dalam undang-undang tersebut. Alih-alih memberi ruang partisipasi publik, Jokowi justru menutup rapat partisipasi publik dengan terbitnya Perppu ini. Karena secara teori, Perppu diterbitkan selain minim partisipasi parlemen, juga tidak ada sedikitpun partisipasi publik.

Argumentasi Yusril Ihya Mahendra bahwa Perppu secara prosedur sudah konstitusional adalah alibi yang berlebihan. Secara subtansi, jika kita cermati, Perppu ini bertolak belakang dengan ruh perbaikan dalam UU Cipta Kerja Tahun 2020. Dan secara formil, Perppu ini mengabaikan meaningfull participation yang menjadi cacat formil karena tidak sesuai dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) di Indonesia.

Bagaimana dengan metode omnibus law yang tidak disebut dalam UU PPP ? Adalah sebuah fakta metode omnibus law yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU PPP nyatanya sudah diakomodir dalam UU Perubahan UU 13/2022 tentang PPP.  Itu artinya tidak ada alasan UU PPP tidak mengkomodir omnibus law.  Tetapi, sekali lagi, yang menjadi catatan adalah meaningfull participation yang hilang dengan keluarnya Perppu tersebut.  

Oleh banyak kalangan, alasan Jokowi menerbitkan Perppu ini juga seperti mengada-ada. Misalnya tentang kegentingan memaksa yang biasa dijadikan pertimbangan penerbitan Perppu. Dalam konsideran Perppu Cipta Kerja 2022, disebut misalnya beberapa argumentasi: alasan dinamika global yang disebabkan oleh kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan yang telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia yang berdampak secara signifikan terhadap perekonomian nasional.

Padahal, dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa Perppu hanya dapat ditetapkan presiden  apabila terdapat kondisi yang dikategorikan sebagai hal kegentingan memaksa. Dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kegentingan memaksa tersebut, sebagaimana berikut:

Pertama,  adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau Undang-Undang yang ada tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jika dianalisa dengan seksama, kita akan melihat bahwa telah ada UU Cipta Kerja tahun 2020 namun Undang-undang dianggap masih belum memadai. UU Cipta Kerja tidak memadai karena cacat formil menurut Mahkamah Konstitusi sehingga dikatakan inkonstitusional bersyarat. Oleh karenanya, sesungguhnya ada jeda waktu dua tahun perbaikan UU Cipta Kerja yang mestinya dikebut oleh Pemerintah Jokowi. Hingga sekarang pun, masih ada waktu untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja hingga tahun 2023 ini.

Pun bahwa meski penilaian kondisi yang disebut kegentingan memaksa bersifaf subjektif, namun presiden harus tetap mendasarkan keadaan-keadaan yang objektif, sebagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pasal tersebut yang termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Sayang, Perppu terlanjur dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Meskipun ini bukan pilihan ideal, namun Perppu ini merupakan kenyataan yang tidak dihindari. Nasi sudah menjadi bubur. Perppu Cipta Kerja sudah terbit. Pertanyaanya lalu, apa yang bisa dilakukan pasca keluarnya Perppu Cipta Kerja tersebut:

Pertama, uji materi Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Masyarakat sipil kembali kritis dengan mengambil jalan uji materi Perppu ini ke lembaga yudikatif tersebut. Dan ini sudah dilakukan oleh masyarakat sipil pada tanggal 1 Januari 2023, pasca terbitnya Perppu Cipta Kerja. Sekarang kita tinggal menunggu apa hasil judicial review atas Perppu Cipta Kerja ini.

Kedua, DPR dapat membatalkan Perppu Cipta Kerja yang disodorkan Jokowi. DPR dapat menerima atau sebaliknya menolak Perppu Cipta Kerja yang diajukan oleh Presiden Jokowi. Mitra kritis eksekutif ini harus bergerak cepat untuk melakukan penilaian terhadap Perppu Cipta Kerja: diterima atau ditolak.    

Ketiga, Presiden dapat juga mencabut Perppu tersebut dengan mengalihkan fokus pada perbaikan UU Cipta Kerja tahun 2020 dalam rentang waktu 2023 ini, sebagaimana banyak saran dari para pakar dan juga aspirasi masyarakat Indonesia tersebut.

Inilah jalang lempang konstitusi. Konstitusi harus menjadi langkah dan komitmen bersama untuk mengatasi berbagai problematika di negeri ini.  Husnudlan saya, pemerintah memang tengah berusaha mengatasi berbagai problem ini dengan Perppu Cipta kerja, namun ikhtiar ini harus dibarengi aturan main untuk tidak boleh menabrak pada konstistusi di negeri ini. Pilihannya tetap harus melewati jalan lempang konstitusi.
 
*Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember (2019-2023)

Populer

Rocky Gerung Ucapkan Terima Kasih kepada Jokowi

Minggu, 19 Mei 2024 | 03:46

Pengamat: Jangan Semua Putusan MK Dikaitkan Unsur Politis

Senin, 20 Mei 2024 | 22:19

Dulu Berjaya Kini Terancam Bangkrut, Saham Taxi Hanya Rp2 Perak

Sabtu, 18 Mei 2024 | 08:05

Bikin Resah Nasabah BTN, Komnas Indonesia Minta Polisi Tangkap Dicky Yohanes

Selasa, 14 Mei 2024 | 01:35

Massa Geruduk Kantor Sri Mulyani Tuntut Pencopotan Askolani

Kamis, 16 Mei 2024 | 02:54

Aroma PPP Lolos Senayan Lewat Sengketa Hasil Pileg di MK Makin Kuat

Kamis, 16 Mei 2024 | 14:29

Siapa Penantang Anies-Igo Ilham di Pilgub Jakarta?

Minggu, 12 Mei 2024 | 07:02

UPDATE

Perindo Mantap Dukung Duet Khofifah-Emil

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:56

Rupiah Kembali Perkasa ke Rp15.982 per Dolar AS

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:56

Johnny Depp Kemungkinan Besar akan Bermain Kembali di Pirates of the Caribbean 6

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:42

Dugaan Asusila Ketua KPU, DKPP Juga Hadirkan Desta

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:25

Usai Pabrik Tutup, Sepatu Bata Bakal Kumpulkan Para Pemegang Saham Dalam Waktu Dekat

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:23

Irlandia Bersiap Akui Negara Palestina, Israel Tidak Terima

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:18

Larangan Study Tour Pelajar Tidak Tepat

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:10

PBB Cabut Gugatan Sengketa Pileg Dapil Jayawijaya

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:09

OJK Dorong Peningkatan Literasi Keuangan untuk Para Guru

Rabu, 22 Mei 2024 | 11:06

Kasus Pungli Rutan, KPK Dalami Peran Azis Syamsuddin

Rabu, 22 Mei 2024 | 10:58

Selengkapnya