Berita

Suasana sidang pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/RMOL

Publika

Level Bohong Para Terdakwa Kasus Sambo Diungkap

JUMAT, 16 DESEMBER 2022 | 15:08 WIB | OLEH: DJONO W OESMAN

DIUNGKAP di sidang, hasil tes bohong lima terdakwa perkara Sambo. Dari paling bohong sampai jujur: Putri, Sambo, Kuat, Eliezer, Ricky. Hasil dalam skor diungkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (14/12).

Pengungkapnya ahli poligraf, Aji Febrianto Ar-Rosyid kepada sidang terbuka untuk umum, demikian:

Putri Candrawathi, skor minus 25. Ferdy Sambo minus 8. Kuat Makruf tes pertama plus 9, dites lagi minus 13. Richard Eliezer plus 13. Ricky Rizal tes pertama plus 11, dites lagi plus 19.


Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya ke Aji Febrianto: "Dari scoring itu artinya apa?"

"Mohon izin. Kalau plus tidak terindikasi bohong. Minus terindikasi bohong."

JPU minta Aji menjelaskan tes bohong. Dijelaskan Aji, pelaksana tes adalah tenaga ahli poligraf. Peserta tes diberi aneka pertanyaan. Di tubuh peserta tes ditempeli peralatan untuk mendeteksi aneka respons tubuh.

Lalu jawaban peserta akan menghasilkan respons tubuh yang terpantau di komputer. Dari situ lie detector (nama alatnya) menyimpulkan, jawaban itu bohong atau jujur. Melalui skor.

Aji mencontohkan pertanyaan untuk tiga terdakwa: Kuat, Ricky dan Eliezer. Aji tidak mencontohkan terdakwa Sambo dan istrinya, Putri.

Kuat di tes bohong, ditanya pengiji: "Apakah memergoki persetubuhan Putri dengan Yosua?" Jawabnya: Tidak. Mesin menyatakan, Kuat jujur.

Tapi, di pertanyaan lain, apakah Kuat melihat Ferdy Sambo menembak Yosua? Jawaban: Tidak. Mesin menyatakan: Bohong.

Ricky di tes, ditanya, dengan pertanyaan yang sama seperti Kuat. Mesin menyatakan: Konsisten jujur. Ricky tidak melihat Sambo menembak Yosua.

Eliezer di tes, dengan model pertanyaan terbalik: "Apakah kamu memberikan keterangan palsu, bahwa kamu menembak Yosua?" Dijawab: Tidak. Mesin menyatakan: Jujur.

Hasil tes bohong Sambo sudah diungkap di pertanyaan JPU terhadap terdakwa Sambo di sidang terpisah, begini:

JPU: "Pertanyaan apa yang diajukantes kebohongan kepada saudara saat itu? Di pertanyaan poligraf, saudara ditanya apakah saudara menembak Saudara Yosua? Jawaban Saudara apa?"

"Tidak menembak."

JPU: "Sudahkah hasil poligraf Saudara ketahui, apa?"

"Tidak jujur."

"Ya sudah."

Jadi, cuma Sambo dan istrinya, Putri, yang bohong dalam tes tersebut.  Dengan tingkat bohong terbohong (sesuai skor) Putri, minus 25.

Sampai, soal skor Putri itu dikomentari pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar. dalam program Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (14/12) begini:

"Menurut saya, minus 25 mengerikan juga. Artinya keterangannya hampir tidak ada yang benar. Minusnya terlalu banyak,"

Digambarkan Abdul Fickar tentang karakter Putri: “Umpamanya untuk menjawab pertanyaan secara jujur, pasti akan ada gangguan-gangguan juga kalau memang biasa merekayasa."

Maksudnya, seumpama jawaban Putri yang jujur pun, akan direaksi oleh mesin lie detector secara salah, karena Putri sudah biasa merekayasa.

Begitulah dahsyatnya pengadilan terhadap terdakwa perkara pidana. Semua hal yang semula di ranah privat, diungkap jadi ranah publik. Bahkan dikomentari pakar pula.

Bandingkan dengan kondisi keluarga Sambo ketika Brigadir Yosua belum dibunuh. Sangat jauh beda.

Sebenarnya tingkat akurasi lie detector sekitar 93 persen. Signifikan, tapi tidak mutlak. Margin error 7 persen, bisa karena penguji kurang ahli, alatnya rusak.

Atau, orang yang diuji sangat ahli. Sekelas agen rahasia negara sangat terlatih. Yang, dalam keadaan kepepet, ia dengan tenang menembak tubuhnya sendiri di bagian tidak mematikan, demi suatu alibi, dalam suatu rekayasa kejadian. Kayak di film-film spy.

Dikutip dari USA News, 25 September 2012, bertajuk: "NSA Whistleblower Reveals, How to Beat a Polygraph Test?", dipaparkan semua proses tes bohong. Termasuk contoh, cara seorang agen rahasia negara memanipulir lie detector, dari jawaban bohong menjadi hasil tes yang jujur.

NSA (National Security Agency). Agensi kriptografi milik pemerintah Amerika Serikat (AS). Didirikan Presiden AS, Harry S. Truman, 4 November 1952. Tugasnya mengumpulkan dan menganalisis komunikasi negara lain, serta melindungi informasi negara AS.

Di situ disebutkan, ada tiga jenis tes yang diterapkan, ketika seorang diuji kebohongan. Tiga tes dalam satu paket.

1) Control Question Test (CQT). Pertanyaan yang umumnya dijawab: Ya. Contoh: "Apakah sepanjang hidupmu pernah berbohong?". Atau, "Pernahkan kamu membohongi ayahmu?"

2) Directed Lie Test (DLT). Pertanyaan yang umumnya dijawab: Tidak. Contoh: "Apakah kamu sekarang Presiden Amerika Serikat?". Tentunya, yang sedang dites bukan Presiden Amerika Serikat beneran.

3) Guilty Knowledge Test (GKT). Pertanyaan tujuan tes yang sebenarnya. Atau, pertanyaan menyangkut persoalan yang diuji. Bentuknya multiple choice. Dan, pilihan jawaban sengaja dibuat mirip tipis-tipis.

Jawaban dari orang yang diuji harus cepat. Dibatasi waktu. Dilarang mikir. Karena diasumsikan, bahwa orang yang diuji sudah tahu jawaban dari semua pertanyaan.

Melalui rangkaian tiga bentuk tes itulah, reaksi faal tubuh orang yang diuji, memancarkan sinyal via peralatan yang ditempelkan di tubuh dia. Sinyal terpantau pada layar monitor.

Lie detector memantau kardio, kelenjar keringat, dan reaksi pernapasan subjek terperiksa, ketika pemeriksa poligraf terlatih mengajukan pertanyaan kepada subjek.

Soal cara memanipulir lie detector seperti agen rahasia negara terlatih, tidak perlu dipaparkan di sini. Karena, hal itu hanya bisa dilakukan orang terlatih.

Bapak kriminologi dunia, Cesare Lombroso (6 November 1835 - 19 Oktober 1909) mengatakan, semua orang bersalah pasti berusaha tidak mengakui kesalahan.

Apalagi, jika kesalahan itu punya konsekuensi sanksi hukuman penjara. Dan, tidak mengaku, atau berbohong, adalah manusiawi. Reaksi otomatis pertahanan diri manusia.

Adagium hukum mengatakan, semua terdakwa pasti berbohong. Sampai ada bukti valid yang menyatakan, bahwa ia jujur. Seperti halnya tiga terdakwa di perkara ini.

Penulis adalah Wartawan Senior

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Demokrat: Tidak Benar SBY Terlibat Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 22:08

Hidayat Humaid Daftar Caketum KONI DKI Setelah Kantongi 85 Persen Dukungan

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:57

Redesain Otonomi Daerah Perlu Dilakukan untuk Indonesia Maju

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:55

Zelensky Berharap Rencana Perdamaian Bisa Rampung Bulan Depan

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:46

Demokrasi di Titik Nadir, Logika "Grosir" Pilkada

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:37

Demokrat: Mari Fokus Bantu Korban Bencana, Setop Pengalihan Isu!

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:35

Setoran Pajak Jeblok, Purbaya Singgung Perlambatan Ekonomi Era Sri Mulyani

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:14

Pencabutan Subsidi Mobil Listrik Dinilai Rugikan Konsumen

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:02

DPRD Pastikan Pemerintahan Kota Bogor Berjalan

Rabu, 31 Desember 2025 | 20:53

Refleksi Tahun 2025, DPR: Kita Harus Jaga Lingkungan!

Rabu, 31 Desember 2025 | 20:50

Selengkapnya