Direktur Democracy and Electoral Empowertment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati/Net
Isu adanya manipulasi data verifikasi faktual partai politik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu semakin mencuat seiring dengan banyaknya fakta dan terbaru yang bermunculan ke ruang publik dari tingkat pusat hingga daerah.
Meskipun di sisi lain, KPU Republik Indonesia juga membantah terkait dengan tuduhan ini. Namun, bantahan secara verbal saja tidaklah cukup, sebab publik membutuhkan kepastian dan informasi yang jelas atas isu kecurangan yang tidak bisa disepelekan.
"Jangan sampai ada calon peserta pemilu yang dirugikan, di sisi lain juga ada calon peserta pemilu yang diuntungkan. Ini baru tahapan awal proses penetapan peserta Pemilu 2024," ujar Direktur Democracy and Electoral Empowertment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, Rabu (14/12).
Ia menerangkan, kalau di awal saja sudah terdapat banyak polemik dan kecurangan, hal itu juga berpotensi terjadi di tahapan berikutnya.
Padahal Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum telah mengamanatkan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP harus menjalankan prinsip penyelenggaraan yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, akuntabel, proporsional, professional, dan efisien.
"Harusnya hal tersebut bukan hanya sekadar teks yang hanya dibaca tetapi juga menjadi implementasi nyata," tegasnya.
Merespons kondisi yang terjadi, maka DEEP Indonesia mendorong beberapa hal.
Pertama, mendorong KPU RI melakukan transparansi dan akuntabilitas bukan hanya hasil tetapi juga proses yang berlangsung pada subtahapan verifikasi faktual partai politik sehingga tidak ada kecurigaan publik terjadi adanya manipulasi data, tekanan dan intimidasi kepada peneyelenggara pemilu tingkat bawah.
Jika diperlukan KPU dapat melakukan audit sipol dan disampaikan hasilnya kepada publik agar seluruh proses tahapan pemilu yang sedang berlangsung sesuai dengan aturan perundang-undangan.
"Ketertutupan hanya akan berakibat pada ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara dan mengancam integritas pemilu," tegasnya lagi. "Kedua, terkait dengan adanya dugaan kecurangan yang terjadi di beberapa daerah karena adanya intervensi KPU RI kepada KPU Daerah saya kira ini membutuhkan penelusuran lebih lanjut."
Bawaslu, lanjut Neni, semestinya dapat melakukan penelusuran dan menjadikan informasi dari masyarakat sebagai informasi awal untuk ditindaklanjuti oleh Bawaslu, apakah benar terjadi dugaan kecurangan, apakah terpenuhi syarat formil materilnya ini tentu membutuhkan kajian.
Tidak bisa juga publik memberikan kesimpulan terlalu dini atas isu yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Bawaslu mestinya juga dapat melakukan pencermatan terhadap proses verifikasi faktual termasuk perbaikan verfak, karena tentu diyakini Bawaslu juga memiliki data yang utuh atas tahapan yang telah dilakukan.
Hasil kajian Bawaslu dapat menjadi pembanding dengan data yang dimiliki KPU. Sekecil apapun hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu sampaikan kepada publik agar publik tidak saling curiga dan ini bisa membangun trust antara masyarakat dengan penyelenggara.
Ketiga, DEEP mendorong masyarakat sipil untuk tidak lelah mengawal tahapan pemilu dan menyampaikan segala bentuk dugaan pelanggaran yang terjadi kepada pihak yang berwenang untuk pemilu yang bersih dan adil.