Diskusi publik Universitas Paramadina bertema ‘Is Islam Compatible with Democracy? Case in Indonesia’/Net
Kehidupan berdemokrasi dinilai telah terpinggirkan sepanjang 40 tahun terakhir perjalanan bernegara di Indonesia.
Demikian disampaikan Gurubesar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi dalam diskusi publik Universitas Paramadina bertema ‘Is Islam Compatible with Democracy? Case in Indonesia’ yang digelar secara daring, Minggu (20/11).
Prof Abdul Hadi menuturkan, kurang lebih 40 tahun Indonesia diperintah oleh rezim totaliter dan antidemokrasi.
“Pemilu 1955 dikhianati melalui dekrit presiden dan juga 32 tahun di bawah otokrasi orde baru. Sehingga kesempatan membangun demokrasi dan ekonomi di Indonesia mengalami hambatan besar,†kata Prof Abdul Hadi.
Di masa itu, kata Prof Hadi, Indonesia jatuh ke tangan rezim hegemoni dengan pola pikir bahwa tidak ada lagi yang lebih penting selain negara.
Selain itu, persatuan nasional diterjemahkan ke dalam penyeragaman.
“Ada kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), UU Desa, padahal desa-desa di Jawa amat berbeda dengan Nagari di Sumatera Barat dan pemukiman di Aceh. Berbeda juga dengan desa di Bali dan Madura,†sambungnya.
Masih pada contoh penyeragaman, swasembada beras diartikan semua wilayah harus menanam padi. Padahal setiap daerah memiliki budaya yang berbeda dan tidak semuanya mengonsumsi beras sebagai bahan utama.
“Puluhan tahun di bawah orde baru, dirasakan negara tampil tidak lagi sebagai lembaga pemerintahan yang adil, tetapi lembaga negara yang telah memihak,†tegasnya.
Dalam diskusi tersebut, turut hadir pembicara lain, yakni College of Letters and Science, University of Wisconsin-Madison, Eunsook Jung, Ph.D; Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Dr Sunaryo; serta sambutan dari Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Prof Didik J. Rachbini.