DALAM kancah perpolitikan pada konteks politik praktis misalnya, menentukan warna partai politik tidak hanya sebagai faktor penunjang eksistensi atau branding semata. Ada hal yang lebih filosofis dan ideologis yang dijaga oleh para kader bahkan simpatisannya.
Maka, tak heran menjadi refleksi bersama dalam mempertimbangkan gerak-gerik hingga aliran politik antara satu dengan yang lain bisa jauh berbeda.
Akan tetapi, arus distorsi, manuver hingga krisis identitas partai bukan mustahil terjadi. Menjelang tahun-tahun kontes demokrasi menjadi tahun panas lika-liku pertarungan sengit antar kubu. Terlebih sejak berlakunya
parliamentary threshold yakni ambang batas perolehan suara minimal partai peserta pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Begitu pun
presidential threshold yang memilki presentase yang cukup tinggi yakni 20 persen memang menuai banyak pro kontra. Dari upaya minimalisir jumlah partai yang maju pada pencalonan presiden hingga resiko disproporsional. Artinya perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya saat dilakukan konversi suara menjadi kursi.
Hal ini, berdampak pada psikologis partai, khususnya kiprahnya di medan pertempuran elektabilitas. Partai akan cenderung apatis dengan ideologi, pragmatis bahkan oportunis.
Resiko yang dikhawatirkan oleh Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, juga menyebutkan bahwa dengan ambang batas yang tinggi juga bisa memicu pragmatisme politik. Alih-alih memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, justru kenaikan ambang batas disikapi dengan mengambil jalan pintas, yakni melakukan politik uang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara yang mereka lakukan.
Keberagaman pemikiran, cita-cita hingga aliran partai politik sebetulnya bagian dari dinamika politik dalam konteks praktis sekalipun. Akan tetapi, penyederhanaan secara radikal melalui regulasi
electoral threshold tentu memberikan dampak
shock pada sebagian besar pegiat politik baik akademisi, ataupun politikus itu sendiri.
Memang tidak dipungkiri, hal ini ibarat upaya efesiensi sebagai bagian dari manajerial kelembagaan, sebagai contoh penyederhanaan tugas dan fungsi guna efesiensi dalam manajemen sumber daya dan energi dibutuhkan. Namun dalam kasus lain misalnya, efesiensi ide dengan membatasi jumlah yang hadir sebagai kontestan elektabilitas dan dialektika dalam kancah perpolitikan justru berdampak secara tidak langsung pada turunnya motivasi kepemimpinan berfikir.
Dampak psikologis dari regulasi ini juga berdampak pada masyarakat, mereka dipaksa memilih dengan pilihan terbatas. Bayangkan saja negeri dengan populasi 275.361.267 jiwa, dipaksa memilih 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden, sedangkan Timor Leste yang sebelumnya merupakan salah satu provinsi bernama Timor Timur dan secara resmi merdeka dari Indonesia pada tanggal 20 Mei 2002 ini juga memiliki cerita menarik.
Bandingkan saja Indonesia dengan Timor Leste yang hanya berpopulasi 1,3 juta jiwa tidak ragu mengerahkan 16 pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilu tahun 2022 ini. Tidak tersandera dengan regulasi yang terkesan melindungi sebagian pihak atau bahkan merugikan sebagian pihak.
Sebetulnya jika berangkat dari sejarah Pemilu 1999. Di kala itu
electoral threshold yang digunakan masih sebesar 2,5 persen dari jumlah bunyi legal secara nasional. Parpol yang memenuhi
electoral threshold waktu itu berjumlah kurang dari 10 parpol, yaitu hanya 6 (enam) parpol. Meski secara presentase, bisa saja terdapat 40 parpol, namun tidak logis semua parpol mendapatkan presentase suara sama rata yakni 2,5 persen.
Dengan presentase 2,5 persen saja hanya terdapat 6 partai yang memenuhi syarat
electoral threshold. Apalagi jika presidential threshold mencapai 20 persen tentu pemangkasan partai akan lebih rigid dari sebelumnya.
Lantas bagaimana praktik pragmatisme dimensional bisa terjadi? Tentu saja mereka para politikus akan lebih realistis melihat kesempitan kesempatan untuk bertarung. Mereka lebih senang melelangkan idealisme nya demi kepentingannya tersalurkan. Eksistensi hilang silih berganti digantikan dengan gejolak hasrat politik, tidak hanya pada para perompak suara dalam hal ini politikus, mereka para rakyat juga terpolarisasi menjadi berbagai aktivitas demokrasi yang menguntungkan kapitalis.
Sebagai rakyat yang terombang-ambing ke dalam ombak pragamatisme politik memang hanyalah menjadi korban kerakusan kekuasaan. Mereka para kapitalis tidak segan menggelontorkan uang demi suara rakyat kecil agar menang di kontestasi politik.
Dengan lawan yang semakin sedikit akibat digugurkan oleh regulasi, partai-partai besar mulai menjengkali kemenangan lewat jumlah sekutu guna membentuk koalisi gemuk. Tak peduli lagi soal kehormatan filosofi bahkan keakraban dialektika, mereka hanya peduli tentang kepentingan.
Melalui regulasi
presidential threshold, implikasi menjadi jauh lebih rumit. Tidak ada lagi tentang pemimpin adalah yang pantas dan yang diinginkan, akan tetapi pemimpin hanyalah soal perhelatan suara yang direkonstruksikan lewat kepentingan kapitalis. Dalam arus pragmatisme politik, kaum kapitalislah yang mempunyai hak untuk menentukan arah kebijakan sesuai dengan niat dan orientasi kapitalis itu sendiri.
Sebab mereka punya modal, masa depan yang cerah bahkan raga partai politik bisa saja bergerak karena dana operasional kapitalis. Tidak ada lagi orang kecil yang mampu bersaing dikancah perpolitikan negeri, maka dari sini maraknya praktik pragamatisme dimensional yang akhirnya merambah pada penjajahan kemerdekaan berpikir dengan polarisasi yang sangat keras menerjang masyarakat.
Wallahualam bi sowab *Penulis adalah mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ